Salah Kaprah Tri Kompetensi Dasar IMM
Bukankah tri kompetensi dasar IMM itu adalah konsep kesatuan antarbutir satu dengan butir lainnya?

PDM DEPOK – Oleh: Laskar Badar Muhammad*
Saya terbilang bukan siapa-siapa, dan bagaikan sebutir debu di organisasi IMM. Meskipun begitu, saya berusaha selalu mengatribusikan diri saya sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari “aktivis marun” di setiap karya-karya tulis yang saya buat.
Itu sebagai tanda perwujudan rasa bangga terhadap IMM yang sedikit banyaknya pasti berpengaruh atas hidup saya. Juga wujud kontribusi kecil-kecilan sebagai kader IMM dalam mengimplementasikan tri kompetensi dasar IMM khususnya dalam hal intelektualitas. Yang mana itupun saya tahu pengaruhnya juga tak seberapa dibandingkan kawan-kawan dan senior-senior IMM saya yang kemampuan intelektualitasnya jauh di atas saya.
Tak ada gading yang tak retak. Maka, dalam konteks organisasi IMM saya paham betul bahwa setinggi apa pun tingkat religiositas, humanitas, dan intelektualitas yang dimiliki seseorang bukanlah jaminan bisa mendapatkan kesempurnaan dan keparipurnaan baik secara individu maupun kelompok. Namun akan kurang tepat jika terhadap kekurangan itu kita cukupkan dengan respons execuse, permisif atau bahkan acuh tak acuh.
Konsep Tri Kompetensi Dasar
Bukankah tri kompetensi dasar IMM itu adalah konsep kesatuan antarbutir satu dengan butir lainnya? Menjadi salah kaprah jika pemahaman atas tri kompetensi dasar itu mengalami reduksi makna.
Contohnya, seperti mencukupkan diri dan berhenti pada salah satu di antara tiga butir yang ada. Lalu merasa sudah selesai dan berpuas diri hanya karena berhasil di sebagiannya saja. Sedangkan di sebagiannya yang lain entah itu diabaikan atau mempersilakan orang atau komisariat atau cabang lain untuk mengerjakannya. Ini jelas pandangan yang keliru jika tidak mau disebut pandangan yang sesat dan menyesatkan.
Jika reduksi makna itu yang terjadi bisa dipastikan laku para anggota baik kader maupun pimpinan sebuah organisasi akan pincang. Intelektualitasnya tinggi “sundul langit” tapi tak peka dan sensitif dengan isu-isu humanitas dan religiositas yang mana itu tak kalah pentingnya. Begitu pula sebaliknya dan sebaliknya.
Maka, tak heran jika kaum intelektual dan cendekiawan banyak disematkan padanya istilah-istilah ndakik-ndakik, kebanyakan teori, omdo, dan lain sebagainya. Yang mana ujung dari perilaku-perilaku tersebut hampir bisa dipastikan jatuh pada perilaku yang bertolak belakang dengan akhlak, nilai, dan moral. Jelas salah satu yang menjadi penyebabnya karena tak utuh dalam melakukan pemaknaan atas sebuah konsep atau gagasan. Mana ada organisasi punya grand design yang bertolak belakang dengan akhlak, nilai, dan moral. Itu mustahil ada!
Kehadiran IMM dan organisasi-organisasi kemahasiswaan bercorak Islam lainnya sudah pasti menyadari akan kepincangan yang terjadi pada kaum intelektual dan cendekiawan tersebut. Sehingga, perlu sebuah konsep baru yang bisa mengobati kepincangan yang terjadi. Salah satu pembaharuan itu adalah memasukkan nilai-nilai religiositas yang dinilai mampu menyempurnakan gerak dan langkah kaum intelektual dan cendekiawan untuk kemaslahatan umat.
Pemaknaan Mendalam Dibutuhkan
Bagi saya cukup lakukan pemaknaan yang sederhana tetapi mendalam terhadap tri kompetensi dasar IMM. Hentikan narasi-narasi bersifat reduktif, seperti komisariat A terkenal unggul dalam humanitasnya. Berbeda dengan komisariat B yang lebih unggul dalam hal intelektualitasnya, dan seterusnya dan seterusnya. Pahami bahwa tiga gagasan itu bersifat ekuilibrium antara satu dengan yang lainnya bukan malah disifati sebagai poin-poin yang parsial.
Sebenarnya sesederhana itu saja. Namun, entah mengapa kader-kader IMM seperti tak ada minat dengan sesuatu yang sederhana. Padahal, dari hal yang sederhana itu akibat yang disebabkan bisa saja menciptakan gerakan yang revolusioner dan radikal. Di era disrupsi ini harus diakui bahwa kita bukan siapa-siapa jika tak melakukan sesuatu yang bersifat revolusioner dan radikal. Belum lagi jika membicarakan hal-hal yang berbau agama kader-kader IMM seperti minder, bahkan minder dengan baju kebesarannya sendiri, yaitu diinul Islam.
Ayahanda Dahlan Rais pernah mengungkapkan keprihatinannya atas fakta yang terjadi pada masjid-masjid di perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah. Bahwa sebagian besar aktivis di masjid-masjid kampus Muhammadiyah malah didominasi oleh mahasiswa dari pergerakan-pergerakan mahasiswa yang tidak berafiliasi dengan Muhammadiyah.
Lalu, ayahanda mempertanyakan peran IMM atas fenomena tersebut. Bagaimana ceritanya sebagai tuan rumah, tapi masjidnya sendiri dikuasai orang lain? Lalu, saya melanjutkan pertanyaan ayahanda itu. Apakah karena kegiatan-kegiatannya tidak ramah masjid? Apakah karena minder jika diskusi-diskusi filsafat itu dilakukan di dalam masjid?
Pada praktiknya tak jarang dijumpai aktivis-aktivis IMM itu pemahamannya justru kebolak-balik, jika tak mau disebut keblinger. Yang paling sering dijumpai adalah aktivis IMM yang menjunjung tinggi nilai-nilai intelektualitas dan humanitasnya. Sedangkan semacam ada sifat superioritas terhadap nilai-nilai religiositas.
Menganggap bahwa sebagai organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah maka sudah pasti khatam soal religiositas. Inilah reduksi makna yang paling sering terjadi di Ikatan. Maka, stop mereduksi makna tri kompetensi dasar IMM.
Kepedulian Terhadap Organisasi
Tulisan ini setidaknya menjadi wujud dari rasa kepedulian serta kecintaan saya yang masih minim kontribusi ini kepada IMM khususnya dan Muhammadiyah pada umumnya. Saya berhusnuzan bahwasannya banyak kader-kader yang pengaruhnya lebih besar dari saya juga menaruh rasa kecintaan dan kepeduliannya dengan caranya masing-masing. Yang mana cara mereka lebih besar pula signifikansinya bagi Ikatan dibandingkan cara saya. Setidaknya kami dipersatukan oleh rasa kepedulian dan kecintaan yang sama pada Ikatan. Saya ucapkan abadi perjuangan!
Tak ada gading yang tak retak. Sekali lagi, sebagaimana lazimnya, biarlah ketidaksempurnaan dan ketidakparipurnaan itu menjadi keniscayaan dan bukan terjadi karena sebab disengaja atau adanya kesalahan sistemik pada sistem perkaderan IMM. Sebab, menurut kacamata religiositas, Allah begitu membenci orang-orang yang mengatakan sesuatu, tapi tidak mengerjakannya. Dengan kata lain, Allah membenci kaum intelektual dan cendekiawan yang melakukan banalitas intelektual.
Wallahu a’lam bis shawab.
Fastabiqul Khoirot.
*Penulis adalah kader Persyarikatan dan IMM. Pengasuh anak-anak yatim dan dhuafa di Panti Asuhan ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali.