Pengkajian Ramadan 1446 H di UMJ, Haedar Nashir: Muhammadiyah Eksemplar Wasathiyah Islam

PDMDEPOK.COM – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir resmi membuka acara Pengajian Ramadan 1446 H yang diselenggarakan di Universitas Muhamamdiyah Jakarta (UMJ) pada Kamis, (6/3/2025).
Haedar Nashir sampaikan bahwa isu Wasathiyah Islam merupakan dan telah menjadi arus utama pemikiran keislaman di Indonesia pada 1 dekade terakhir bahkan juga telah menjadi isu penting yang mengglobal. Hal tersebut menjadi sangat menarik, pasalnya ia juga menyebut bahwa Muhammadiyah merupakan satu wujud eksemplar dalam gerakan islam modern terutama pada pemikirannya yang menganut wasathiyah islam berkemajuan.
“Kita membahas tentang wasathiyah islam berkemajuan dan kenapa Muhammadiyah membahas itu? isu wasathiyah telah menjadi arus utama pemikiran keislaman di Indonesia pada 1 dekade terakhir ini bahkan telah menjadi isu penting yang berada di dunia,” ujar Haedar.
Haedar menambahkan, Muhammadiyah telah menjadi satu wujud eksemplar dalam wasathiyah islam berkemajuan.
“Gerakan islam reformis yang kemudian dibungkus dalam gerakan islam berkemajuan itu sesungguhnya merupakan karakter yang khas baik secara teologi, ideologi, maupun praksis,” tegas Haedar.
Tiga poin yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang juga sekaligus guru besar di bidang sosiologi tersebut adalah tentang cerminan wasathiyah islam yang dapat dilihat serta dikaji secara teologis, ideologis, maupun secara praksis.
Dalam hal tersebut, Haedar menjelaskannya dengan berkaca pada arah gerak Muhammadiyah sejak didirikan oleh pendirinya yaitu Kiai Ahmad Dahlan dan juga ajaran-ajaran yang telah diwariskannya.
“Dalam hal pandangan keagamaan kyai dahlan dan generasi-generasi Muhammadiyah yang dilanjutkan oleh kita semua, Muhammadiyah tanpa sejak awal menyatakan dirinya sebagai wasathiyah islam, sejatinya telah mempraktekan itu,” ungkapnya.
Berkaca dari surah Al Maun yang diwariskan oleh Kiai Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya dan hingga saat ini ajaran tersebut sangat dipegang teguh oleh generasi-generasi penerus Muhammadiyah, Haedar memaparkan bahwa Muhammadiyah hidup, hadir, dan mengajarkan kita semua bahwa ajaran Al Maun merupakan suatu bentuk welas kasih dimana kaum yang kaya menyayangi kaum yang lemah (Dhuafa dan mustadh’afin).
Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting dan menarik adalah tentang bagaimana Haedar menjelaskan konsep ajaran yang terkandung pada surah ini dapat mematahkan teori-teori yang telah dikemukakan oleh para pemuka dunia.
“Jadi Al Maun nya Kyai Dahlan itu mematahkan mitos tentang konsep marxisme yang hanya pro dhuafa dan mustadh’afin tapi anti mereka yang kaya dan punya kekuatan yang pada saat itu dilambangkan oleh kaum Borjuis,” tutur Haedar.
Haedar memperkuat juga dari pidato dari Budi Utomo saat membangun RS PKU Muhammadiyah Surabaya pada 1924, bahwa Budi Utomo menyatakan Al Maun dan PKU itu berbeda sekali dengan falsafah Darwinian tentang konsep struggle for life dimana yang kuat dia yang menang.
“Al Maun adalah bentuk wujud welas kasih dimana yang kaya menyayangi yang miskin dan itu aktualisasi dari Al Maun,” jelas Haedar dengan menjelaskan konsep wasathiyah secara teologis melalui Al-Maun.
Haedar juga menambahkan bahwa ada satu ajaran lagi yaitu tentang surah Al Asr yang diajarkan selama 8 bulan oleh Kiai Dahlan dimana hal tersebut sangat penting (menyangkut dengan waktu). Dari surah tersebut Haedar memaparkan bahwa Islam merupakan agama yang adaptif, akomodatif, dan memberikan alternatif terhadap setiap zaman dan keadaan.
“Maka betapa kayanya surat Al Asr itu sampai Imam Syafi’i menyatakan bahwa Andaikan manusia itu mempelajari betul surat Al Asr, maka cukuplah dengan surat Al Asr ini,” tambahnya.
Lalu poin kedua dari segi Ideologis, Haedar memaparkannya dari konteks relasi sosial, keumatan, kebangsaan, dan relasi kemanusiaan yang lebih luas dimana Kiai Dahlan juga telah mencontohkannya dalam bentuk moderasi.
“Kiai dahlan biarpun melakukan pembaharuan, tapi beliau masih tetap adaptif pada realitas. Etika sosial beliau juga yang dapat membangkitkan hubungan relasional antar tokoh pada saat itu, dan itulah yang bisa kita tingkatkan pada saat ini, dimana kita juga harus membangun etika sosial yang baik antar tokoh,” paparnya.
Maka artinya dengan relasi sosial yang telah diwariskan pendirinya, Muhammadiyah sudah terbiasa dengan sikap kebangsaan yang inklusif. Ciri-ciri kepribadian Muhammadiyah sejatinya memang moderat dan disitulah jejak dan mutiara sangat berharga yang telah diajarkan pendiri Muhammadiyah dari nilai-nilai ideologis dan teologis Muhammadiyah.
Lalu selanjutnya dalam segi praksisnya, Haedar turut menjelaskan bahwasannya seluruh amal usaha yang sudah dirintis sejak awal oleh Kiai Dahlan itu merupakan suatu wujud dari tafsir-tafsir Wasathiyah.
“Dalam hal praksis ini kita juga harus menyadari bahwa kita tidak semata-mata tidak mengejar dunia. Uang itu penting, tapi hasrat untuk beruang itu memang hidup pada setiap orang. Maka kalau tidak ada bingkai itu kita bisa mengejar uang tidak ada habis-habisnya. Maka bisa di cek bahwa mereka yang melakukan korupsi itu adalah orang yang sudah berlebih.” ujarnya.
Haedar Nashir juga menegaskan bahwa kezaliman yang terdapat pada dunia ini jangan sampai meluas dan disitulah Muhammadiyah harus turut hadir dalam mengelola dunia dengan landasan Ihsan.
“Jangan biarkan orang-orang zalim menguasai dunia hanya karena orang-orang soleh pasif dari dunia. Muhammadiyah ingin mengolah dunia itu dengan ihsan, maka usaha dilekatkan dengan amal, maka lahirlah amal usaha supaya usahanya tetap ada bingkai dan landasannya. Bahwa kalau kita berusaha dengan amal mesti ikhlas, landasannya ibadah,” tegasnya.
Haedar Nashir memaparkan konsep Wasathiyah secara Teologis, Ideologis, dan Praksis melalui cerminan yang telah diajarkan oleh pendirinya. Haedar Nashir pada akhir pidatonya turut menyampaikan pesan yang begitu indah dan mendalam.
“Jadi khazanah yang diletakkan oleh pendiri kita dan terus di transformasi setelahnya, itulah yang membuat Muhammadiyah bisa bertahan hingga saat ini,” katanya.
“Poin pentingnya adalah mari kita baca kembali seluruh khazanah pemikiran organisasi dan apa yang telah diletakkan oleh Kyai Dahlan itu agar menjadi state of mind kita yang sudah terinternalisasi pada diri kita supaya dalam menggerakkan Muhammadiyah itu tidak berdasarkan pikiran kita sendiri tetapi berdasar pada state of mind organisasi yang sudah menjadi ijtihad kita di Muhammadiyah,” pesan Haedar.
Maka dengan pesan tersebut, Haedar Nashir berharap agar jalannya Muhammadiyah di masa depan dapat terus berjalan sesuai dengan bingkainya.
“Karena kita orang perorang datang dan pergi. Sehebat apapun tokoh, selalu ada akhirnya, selalu ada batasnya. Maka dari itu, kita bisa terus melangsungkan pergerakan kita karena Muhammadiyah itu sudah menjiwa pada diri kita,” pungkasnya.