Keislaman

Mewaspadai Laḥn Tatkala Membaca Al-Qur’an

PDM DEPOK – Oleh: Ust. Nur Fajri Romadhon

Laḥn ialah kekeliruan saat membaca Al-Qur’an[2]. Padahal tujuan terpenting mempelajari dan mempraktekkan Tajwid ialah agar kita terhindar dari Laḥn [3]. Ayyūb As-Sikhtiyāniyy rh (w. 131 H), seorang tabi’in, suatu ketika pernah melakukan Laḥn  dalam membaca suatu huruf Al-Qur’an, maka beliau segera mengucapkan, “Astaghfirullah!”[4] Oleh karenanya para shahabat, misalnya Ibnu ‘Abbās ra (w. 68 H)[5], serius mengajarkan konsep Laḥn  kepada para tabi’in agar mereka menghindarinya. ‘Umar ra (w. 23 H) mengatakan: “Pelajarilah fikih, hadis, dan Laḥn  seserius kalian mempelajari Al-Qur’an.”[6] Ibnu ‘Umar ra (w. 73 H) juga memukul ringan -dalam konteks mendidik- anaknya ketika melakukan Laḥn [7]. Secara umum Laḥn  dilarang, namun terkait apakah larangan di sini sifatnya makruh ataukah haram, maka itu tergantung jenis Laḥn -nya[8]. Memang Laḥn  terbagi menjadi dua, Laḥn  Jaliyy dan Laḥn  Khafiyy[9].

Pertama: Laḥn Jaliyy (kekeliruan yang jelas)

Ia adalah kekeliruan pada huruf dan harakat ketika membaca huruf Al-Qur’an sehingga umumnya sampai mengubah makna[10]. Tidak harus terjadi di surat Al-Fātiḥah saja, namun juga berlaku untuk surat-surat lain[11]. Hanya saja bila terjadi pada Al-Fatihah, maka bisa mempengaruhi kesempurnaan salat, walaupun tidak selalu membatalkan salat sebagaimana difatwakan Majelis Tarjih & Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah[12]. Contohnya ialah:

  1. Mengubah harakat

Misalnya membaca “iyyāki na’budu” padahal harusnya “iyyāka na’budu”.

2. Mengganti huruf

Misalnya membaca “shirāth” harusnya dengan Shād (ص) tapi malah dengan Syīn (ش).

3. Memendekkan yang harusnya panjang dua harakat

Misalnya membaca “bi-ash-ḥābil” dengan memanjangkan Ḥā’ (ح) sepanjang dua harakat, tapi malah dipendekkan.

4. Memanjangkan yang seharusnya pendek

Misalnya membaca “mālikinnās” dengan memanjangkan Mīm, padahal harusnya pendek.

5. Mentasydid huruf yang tidak bertasydid atau sebaliknya

Misalnya membaca “iyāka na’budu” padahal harusnya “iyyāka na’budu” dengan menekan Yā’ (ي).

Kedua: Laḥn Khafiyy (kekeliruan yang samar)

Ia adalah kekeliruan pada selain huruf dan harakat sehingga tentulah tidak sampai mengubah makna[13]. Di antara bentuk Laḥn  Khafiyy adalah sebagai berikut:

  1. Tidak mempraktekkan hukum semisal Ikhfā’, Iqlāb, Idzh-hār, atau Idghām

Contohnya tidak meng-Ikhfā’-kan Nūn pada frasa أُنْثَى padahal Nūn di situ bertemu huruf Tsā’[14].

2. Mempraktekkan Ghunnah terlalu lama atau terlalu cepat

Idealnya Ghunnah dibaca sekitar dua-tiga harakat. Jadi bila dibaca terlalu lama atau terlalu cepat, maka ini termasuk Laḥn  walaupun Khafiyy.

3. Membaca Tarqīq (tipis) huruf yang Tafkhīm (tebal) atau sebaliknya

Misalnya membaca Tarqīq Rā’ (ر) pada “al-kawtsar (الْكَوْثَر)” padahal harusnya dibaca Tafkhīm  karena ia disukunkan akibat Waqf sementara sebelumnya fatḥah. Contoh sebaliknya ialah membaca Tafkhīm huruf Lām pada kata بَاطِلٌ pada seharusnya Tarqīq sebab Lām hanya dibaca Tafkhīm pada Lafdzhul Jalālah yang sebelumnya fatḥah/dhammah[15].

4. Membaca panjang tak sesuai harakat yang seharusnya

Misalnya membaca Madd yang harusnya empat harakat menjadi hanya dua atau tiga harakat, atau bahkan berlebihan hingga enam harakat.

5. Tidak sempurna melafalkan huruf sesuai makhraj dan shifatnya

Misalnya belum sempurna melafalkan huruf ‘Ain (ع), Qāf (ق), dan Dhād (ض) atau kurang baik melafalkan Qalqalah.

Contoh-contoh lain dapat kita jumpai dalam proses kita membaca dan belajar Al-Qur’an, terutama ketika kita mengkhatamkan Al-Qur’an -baik secara hafalan atau tidak- di hadapan seorang guru yang mumpuni. Sebab tidaklah mampu mengenali Laḥn Khafiyy kecuali yang pembaca Al-Qur’an yang sudah mahir secara teori dan praktek[16]. Adapun Laḥn  Jaliyy, maka saking fatal dan saking jelasnya, dapat dikenali siapapun yang baru belajar dasar Tajwid [17]

Dari sini kita menyadari, bahwa meski seluruh ulama sepakat bahwa mempelajari Tajwid secara teori hukumnya fardhu kifayah, tetapi mereka juga bersepakat bahwa mempraktikkan Tajwid saat membaca Al-Qur’an secara umum hukumnya fardhu ‘ain. Dikatakan “secara umum”, karena ada sejumlah aturan Tajwid yang rinci di mana ia tidak menjadi sebuah hal nan fardhu ‘ain. Siapa yang tidak mempraktekkannya, sehingga ia melakukan Laḥn  Khafiyy, maka hukumnya makruh. Aturan-aturan rinci Tajwid inilah yang menjadi domain dari Laḥn  Khafiyy. Adapun aturan-aturan global Tajwid, maka ia terkait dengan Laḥn  Jaliyy, karena itulah menjadi fardhu ‘ain atas setiap pembaca Al-Qur’an untuk membaca sesuai aturan-aturan ini. Bila seseorang tidak serius mempraktekkan aturan Tajwid yang semacam ini sehingga terjatuh pada Laḥn Jaliyy, maka ia terjatuh pada sesuatu yang haram[18].

Beragam bentuk Laḥn  tadi menghindarinya bukanlah sesuatu yang amat sulit manakala kita memohon bantuan kepada Allah swt serta rutin membaca Al-Qur’an dan menghadiri majelis pengajaran Tajwid. Mewaspadai Laḥn  merupakan hal yang seyogianya diperhatikan semua pembaca Al-Qur’an agar tidak terkena kemakruhan atau bahkan keharaman. Ini bukanlah bentuk sikap berlebih-lebihan manakala dilakukan secara wajar dan alami. Malahan berlebih-lebihan dalam melafalkan huruf, terlebih bila disertai pikiran tidak khusyu’ serta jauh dari penghayatan, bukanlah hal yang terpuji[19]. Nashrun minallāhi wafatḥun qarīb wabasysyiril mu’minīn.

 

*Wakil ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah DK Jakarta sekaligus ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah Kota Depok.

Referensi

[2] Zainuddīn As-Sanhūriyy, Al-Jāmi’ Al-Mufīd (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2010), hlm. 158-159.

[3] Riḥāb Muḥammad, ilyatut Tilāwah, (Jeddah: Maktabah Rawāi’ul Mamlakah, 2008), hlm. 51.

[4] Ad-Dāniyy, Syarul Khāqāniyyah, (tanpa penerbit, tanpa tahun, taḥqīq: Ghāziyy Al-‘Amriyy), jld. II hlm. 237.

[5] Syarul Khāqāniyyah, jld. II hlm. 236.

[6] Syarul Khāqāniyyah, jld. II hlm. 232.

[7] Syarul Khāqāniyyah, jld. II hlm. 230.

[8] Al-Qāriyy, Al-Mina Al-Fikriyyah, (Damaskus: Dārul Ghautsāniyy, 2012), hlm. 112.

[9] Ibnul Jazariyy, At-Tamhīd, (Beirut: Muassasah Ar-Risālah, 2001), hlm. 76.

[10] Al-Mina Al-Fikriyyah, hlm. 112 & ‘Aliyy ibn Sa’d Al-Ghāmidiyy, Al-Lan fī Qirā-atil Qur-ānil Karīm, (Beirut: Dārul Basyāir, 2010), hlm. 18.

[11] Al-Mina Al-Fikriyyah, hlm. 113.

[12] Tanya Jawab Agama (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. II hlm. 60-61.

[13] ‘Abdulwahhāb Al-Qurthubiyy, Al-Mūdha fit Tajwīd, (Amman: Dār ‘Ammār, 2009), hlm. 61 & Al-Lan fī Qirā-atil Qur-ānil Karīm, hlm. 18.

[14] Anugrah Arifin & Saprun, Buku Ajar Al-Qur’an At-Tanwir, (Mataram: LP3IK Universitas Muhammadiyah Mataram, 2018), hlm. 18.

[15] Al-Balbāniyy, Bughyatul Mustafīd (Beirut: Dārul Basyāir, 2001), hlm. 23.

[16] Ibnu Mujāhid, As-Sab’ah fil Qirā-āt, (Kairo: Dārul Ma’ārif, 2005), hlm. 49.

[17] Al-Hamadzāniyy, At-Tamhīd fī Ma’rifatit Tajwīd, (), hlm. 206.

[18] Al-Mina Al-Fikriyyah, hlm. 113.

[19] Ad-Dāniyy, At-Tadīd fil Itqān wat-Tajwīd, (Amman: Dār ‘Ammār, 2000), hlm. 118-119.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button