Esai/OpiniKeislaman

Ijtihad, Ittiba’, dan Taqlid

PDM Depok – Oleh: Ust. Nur Fajri Romadhon*

Pembahasan Ijtihād nyaris selalu dibahas paling akhir dalam kitab-kitab Ushūl Fiqh. Tetapi memulai dengan bahasan ini, seperti di sebagian kitab, seperti Syarḥut Talwīḥ ‘alat Tawdhīḥ[2], bisa jadi pilihan tepat. Itu karena semua bahasan Ushūl Fiqh sesungguhnya merupakan penguraian lebih rinci dari konsep Ijtihād. Bahkan urgensi Ushūl Fiqh barulah akan nyata setelah menyadari tingginya kedudukan Ijtihād dalam Islam. Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang hakim memutus perkara dengan ijtihād, lalu benar, maka baginya dua pahala. Namun bila ia memutus perkara dengan ijtihād, lantas keliru, maka baginya satu pahala.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Prof. Asjmuni Abdurrahman mendefinisikan Ijtihād sebagai “mencurahkan segenap kemampuan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’ amali dengan satu metode.”[3] Lawan dari Ijtihād[4] ialah Taqlīd, yaitu “mengikuti pendapat tanpa hujjah atau dalil”[5]. Taqlīd berbeda dari Ittibā’[6]. Ittibā’ adalah “mengamalkan agama sesuai yang ditentukan oleh dalil yakni Al-Quran dan As Sunnah”[7] Tidak semua ulama mengakui adanya derajat Ittibā’ ini. Sebagian mereka memasukkannya ke dalam derajat terendah Ijtihād ataupun derajat tertinggi Taqlīd. Hanya saja perbedaan ini tidak substantif[8]. Di antara ulama yang mengakui adanya derajat ini di antara Ijtihād dan Taqlīd ialah Al-Ḥāfidzh Ibnu ‘Abdilbarr[9] dan Al-Imām Asy-Syaukāniyy[10]. Al- Ḥāfidzh Ibnul Qayyim sebutkan bahwa Al-Imām Aḥmad juga termasuk yang membedakan antara Taqlīd dengan Ittibā’[11].

Sembari mengisyaratkan ayat “Tanyalah kepada orang alim jika kamu tidak tahu.” [QS. An-Naḥl (16): 43], K.H. Djarnawi Hadikusuma menuliskan: “Kewajiban idjtihad hanya tertimpa kepada orang alim yang sudah sanggup untuk beridjtihad. … Maka jika kita tidak mengetahui hukum sesuatu perkara atau apa saja yang menyangkut agama, kita diperintahkan Allah untuk bertanya kepada ahli Quran, untuk mendapat keterangannya itu. Ini adalah perintah ittiba’ dan bukan perintah untuk taqlid. Jadi perintah atau kewajiban ittiba’ ini untuk orang yang belum mampu beridjtihad. Jika orang untuk berittiba’ pun belum mampu, tentu dia tak dapat memahami dalil-dalil ayat Quran atau Hadits. Bagi mereka ini cukup dijawab umpamanya: “Hukum daging babi itu haram karena Allah mengharamkannya dalam Al-Quran”. Lalu mereka percaya. Apakah ini taqlid? Kalau itu taqlid, maka hanya taqlid dalam pengertian bahasa, tidak menutup pintu idjtihad baginya jika ia sudah mampu. Yang terang itu bukan taqlid seperti yang dīstilahkan orang bahwa taqlid itu harus kepada salah satu Imam Empat karena idjtihad sudah tertutup[12], apalagi dengan keyakinan bahwa pendapat Imamnya mesti benar, yang menjadikan orang tak merasa perlu mempertimbangkan pendapat orang lain!”[13]

Ada tujuh syarat mujtahid yang disebutkan oleh Prof. Syamsul Anwar: (1) berilmu tentang bahasa Arab, (2) berilmu mengenai dalil-dalil, (3), memahami cara berdalil, (4) mengetahui maqāshid hukum, (5) menguasai perbedaan dan kesepakatan ulama, (6) benar akidahnya, dan (7) lurus niatnya[14]. Dari sinilah para ulama pun paparkan bahwa mujtahid berderajat-derajat kemampuannya[15], bahkan ada yang hanya mencapai derajat Ijtihād dalam sebagian isu saja[16]. Jadi amat penting untuk mengumpulkan para pakar guna berijtihād bersama. Satu per satu pribadi ustaz/kyai hari ini yang secara personal mungkin bukan mujtahid, namun bila sudah berkumpul bersama, maka diharapkan naik menjadi mujtahid secara kolektif.  Prof. Fathurrahman Djamil menuliskan: “Bahkan untuk saat sekarang ini ilmu lainnya perlu juga dimiliki oleh mujtahid, seperti sosiologi, antropologi, dan pengetahuan tentang masalah yang akan ditetapkan hukumnya.

Karena itu dapat dikatakan bahwa persyaratan ijtihad di atas sulit akan terwujud pada seseorang. Jalan keluarnya, maka sekarang ijtihad tidak lagi mengambil ijtihad perorangan melainkan dalam bentuk ijtihad kolektif yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing. Kelompok ini terdiri dari berbagai ahli di bidang agama Islam, dengan segala pembidangannya, dan ahli dalam ilmu lain yang erat kaitannya, baik langsung ataupun tidak langsung, dengan masalah yang sedang dibahas. Itulah yang dimaksud dengan ijtihād jamā’i. Hampir dapat dipastikan bahwa ijtihad perorangan (ijtihād fardi) sulit untuk dilakukan lagi pada masa sekarang.”[17] Padahal banyak ulama menyatakan tidak bolehnya suatu masa kosong dari mujtahid[18].

Ijtihād Jamā’iyy seperti ini sebetulnya salah satu varian metode Ijtihad[19]. Harus dīngat bahwa pembahasan kunci di Ushūl Fiqh sebenarnya ialah soalan Metode Ijtihad. Ia pulalah yang dalam lingkungan Muhammadiyah disebut dengan Manhaj Tarjih. Menurut penulis, inilah yang paling tepat mewakili ungkapan “akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam” dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah poin ke-3: “Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan a. Al-Qur’an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanān ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”[20]  Itu karena bila memahami Al-Qur’an dan Sunnah bisa seenak hati tanpa seperangkat ilmu dan metode, maka tentulah akan terjadi penyelewengan bahkan sikap mengikuti hawa nafsu, sebagaimana dijelaskan oleh K.H. Mas Mansur[21].

Muhammadiyah melakukan Ijtihād melalui Majelis Tarjih dan Tajdid. Prof. K.H. Ahmad Azhar Basyir menyatakan: “Dalam memberikan arah bagi kehidupan umat Islam, maka Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih yang diproyeksikan sebagai laboratorium dari mekanisme ijtihad di kalangan Muhammadiyah.” [22] Prof. Muhammad Amin Abdullah menimpali: “Muhammadiyah dituntut untuk terus berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu, keberadaan dan peran Majelis Tarjih dan Tajdid menjadi ujung tombak bagi lahirnya produk-produk pemikiran keagamaan resmi Muhammadiyah.”[23]

Sebagai penutup, penting kiranya merenungkan pernyataan K.H. Djarnawi Hadikusuma: “Seyogianyalah kita berpendapat bahwa pintu idjtihad belum pernah tertutup. Tetapi apakah kita harus mengaku telah beridjtihad itu persoalan lain pula. Janganlah kita menyombongkan diri dengan mengatakan kita telah beridjtihad. Tetapi yang penting ialah pendapat: Pintu idjtihad belum tertutup dan masih banyak hal-hal yang perlu dīdjtihadkan. Marilah belajar dan belajar agar kita cerdas dan ‘alim untuk beridjtihad. Siapa yang telah cukup ‘alim, silahkan beridjtihad.”[24] Nashrun minallāhi wafatḥun qarīb wabasysyiril mu’minīn.

*Wakil Ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah DK Jakarta sekaligus Ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah Kota Depok.

 

Referensi

[2] At-Taftāzāniyy, Syarḥut Talwīḥ ‘alat Tawdhīḥ (Beirut: Dārul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2013), jld. I hlm. 27-32.

[3] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 104.

[4] Penggunān Ijtihād merupakan pokok ke-1 Manhaj Majelis Tarjih yang dirumuskan tahun 1984-1990. Lihat: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, hlm. 12.

[5] Tanya Jawab Agama (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. Ī hlm. 216.

[6] Syamsul Anwar, Ushūlul Fiqh (Yogyakarta: LPPI UMY, 2018), hlm. 138.

[7] Tanya Jawab Agama, jld. Ī hlm. 216.

[8] Asy-Syāthibiyy, Al-I’tishām (Beirut: Dārul Fikr, 2010), jld. Ī hlm. 221-222.

[9] Ibnu ‘Abdilbarr, Jāmi’ Bayānil ‘Ilmi waFadhlihī (Dammam: Dār Ibnil Jawziyy, 1994), jld. Ī hlm. 992.

[10] Asy-Syaukāniyy, Irsyādul Fuḥūl (Beirut: Dārul Kitābil ‘Arabiyy, 1999), jld. Ī hlm. 239.

[11] Ibnul Qayyim, I’lāmul Muwaqqi’īn (Kairo: Dār Ibnil Jawziyy, 2012), jld. I hlm. 462.

[12] Tidak bertaqlīd kepada salah satu dari ulama madzhab merupakan pokok ke-3 Manhaj Majelis Tarjih. Lihat: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, hlm. 12.

[13] Djarnawi Hadikusuma, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Bid’ah, Khurafat (Yogyakarta: Percetakan Persatuan, 1996), hlm. 14.

[14] Ushūlul Fiqh, hlm. 144-149.

[15] Zakariyyā Al-Anshāriyy, Ghāyatul Wushūl (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2021), hlm. 298-300.

[16] Ar-Ruhūniyy, Tuḥfatul Mas-ūl (Dubai: Dārul Buḥūts wad-Dirāsāt, 2002) jld. IV hlm. 243-245.

[17] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), hlm. 18.

[18] Al-Mardāwiyy, At-Taḥbīr (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2019), jld. VĪI hlm. 4059.

[19] Ijtihād Jamā’iyy menjadi pokok ke-2 Manhaj Majelis Tarjih. Lihat: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, hlm. 12.

[20] Manhaj Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 51.

[21] Mas Mansur, Tafsir Langkah Muhammadiyah  (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 24-25.

[22] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 278.

[23] Muhammad Amin Abdullah, Fresh Ijtihad (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2020), hlm. 85.

[24] Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Bid’ah, Khurafat, hlm. 8-9.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button