Esai/Opini

Lebaran, Waktunya Kembali ke Sumber

PDM DEPOK – Oleh: Ahmad Soleh*

Budaya konsumtif begitu mengakar di masyarakat kita. Konsumtif adalah istilah yang memiliki konotasi negatif. Orang yang konsumtif biasanya berperilaku berlebihan, senang berbuat boros, dan tidak punya pikiran jangka panjang. Seolah kehidupan ini adalah berisi keinginan-keinginan yang harus dipuaskan sesaat itu juga.

Masyarakat kita tampaknya sudah terbiasa hidup konsumtif. Sehingga tidak sedikit yang terjerat masalah finansial. Mulai dari utang ke tetangga sampai nekat pinjol demi memenuhi kebutuhan gaya hidup. Ya, di sini istilah “kebutuhan” telah kabur maknanya, malah lebih dekat dengan “keinginan”. Memang, setiap orang punya keinginan, ingin terlihat hidup enak, punya gaya dan gengsi, ingin status sosialnya diakui, tapi cobalah dipikir lagi, untuk apa hal itu dilakukan?

Tradisi Lebaran

Terkhusus bagi umat Islam. Dalam tradisi Lebaran, misalnya, masyarakat mayoritas Muslim di Indonesia sering melakukan “mudik” alias pulang ke kampung halaman. Tradisi ini mungkin tidak ditemukan di negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Mudik adalah aktivitas rutin tahunan yang diisi dengan kumpul keluarga dan sanak saudara. Biasanya, selain kembali ke kampung, kita juga menjalin silaturahim dengan keluarga dan saudara yang sudah lama tidak bertemu. Lebaran menjadi momentum temu kangen.

Namun, di balik segala gegap gempita Lebaran, ada hal-hal yang ternyata tidak mengenakkan, yang bahkan bisa membawa kita pada perilaku berlebih-lebihan. Kaitannya dengan budaya konsumtif tadi. Momentum Lebaran kerap dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi untuk memancang harga berbagai kebutuhan dengan sangat tinggi. Mulai dari harga sembako sampai ongkos mudik yang harganya jauh di atas biasanya.

Dalam kondisi begitu, mau tak mau, kita dipaksa untuk konsumtif. Sebagian orang mungkin berpikir ulang, apakah ini sangat urgen untuk dibeli atau tidak, apakah mudik tahun ini sangat perlu atau tidak. Tentu, pilihan pada akhirnya ada di tangan masing-masing. Namun, perlu bagi kita untuk saling mengingatkan dan mewawas diri.

Mudik tentu boleh saja, asalkan memang kita sudah persiapkan segala sesuatunya dari jauh hari. Apalagi bagi yang orang tuanya di kampung halaman, tentu mudik jadi momentum amat berharga. Kita bisa menyiapkan tabungan khusus untuk mudik, yang mencakup pengeluaran harian dan ongkos pulang-pergi. Termasuk memikirkan hal-hal tak terduga, seperti kebutuhan berobat, berbagi dengan sanak keluarga, dan sebagainya. Menabung adalah salah satu cara agar kita tidak terjerumus pada pola hidup konsumtif atau berlebihan. Menabung artinya memikirkan dan mempersiapkan masa depan.

Selain itu, kita juga bisa mempertimbangkan untuk melakukan mudik di waktu lain, selain saat Lebaran. Memang akan terasa sedikit berbeda, tetapi hal ini patut dipertimbangkan, apalagi buat yang kampungnya begitu jauh dan ongkosnya mahal. Jangan sampai “bela-belain” mengutang demi pulang kampung. Toh, di zaman sekarang, kita bisa memanfaatkan perangkat komunikasi untuk tetap saling terhubung meski tak berjumpa secara langsung.

Selain itu, pola hidup konsumtif juga bisa terjadi karena dorongan ingin bergaya dan gengsi. Kelemahan masyarakat kita juga terletak pada dua hal itu. Sehingga ada yang dengan sadar “memaksakan diri” untuk terlihat bagus, berkelas, kaya, dan bergengsi, padahal keadaan sebenarnya tidaklah demikian. Budaya untuk tampil ini juga populer disebut dengan “pamer” atau flexing. Tentu, pamer bisa dalam bentuk apa saja dan sebaiknya kita hindari perilaku demikian. Karena bukan itu substansi dari berlebaran.

Kembali ke Sumber

“Agama itu membebaskan, budaya membelenggu,” kata Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid (2018: 231). Budaya yang membelenggu itulah yang memaksa kita untuk “menyembah” tuhan-tuhan lain dan membuat kita terjerumus dalam perilaku yang merugikan, entah itu bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebab itulah, dalam menjalani kehidupan ini kita harus mengikuti panduan (guidance) yang menuntun kita ke arah yang baik, yakni Al-Quran dan sunah.

Lebaran atau Idulfitri adalah momentum yang sangat baik bagi umat Muslim. Terutama untuk kita kembali menjadi manusia seutuhnya, manusia yang suci lahir dan batin. Budaya Lebaran perlu kita tarik ke dalam pemaknaan yang lebih esensial. Hindari pamer kekayaan, jabatan, dan sebagainya. Ini adalah momentum kita saling memaafkan, mengubah diri menjadi lebih baik lagi, dan sebagaimana tujuan berpuasa, yakni menjadi insan yang bertakwa. Bertakwa artinya taat sepenuh hati pada ketentuan-Nya. Itulah sebabnya kita harus menjadikan ini sebagai momentum untuk kembali ke sumber.

Sumber dari ajaran Islam adalah Tauhid. Kembali ke sumber artinya kembali ke esensi bertauhid. Yakni, “laa ilaaha”, menihilkan “tuhan-tuhan” lain yang dapat memperbudak kita dalam menjalani kehidupan. Harta, kekayaan, rasa ingin dihormati, dan sebagainya adalah bentuk tuhan-tuhan lain yang selalu membayangi kehidupan kita setiap harinya. Tanpa sadar hal tersebut dapat membuat kita menduakan Tuhan yang sejati, Allah Swt. Naudzubillah.

Maka, marilah kita jadikan Lebaran tahun ini sebagai pijakan kembali ke sumber kehidupan. Belum ada kata terlambat. Semoga segala dosa dan khilaf mendapatkan ampunan-Nya. Selamat Lebaran, selamat Idulfitri. Taqabalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin.

30 Ramadhan 1446 H

* Sekretaris MPI PDM Kota Depok, Mahasiswa SPs Uhamka, Awardee Beasiswa Kader MPK-SDI PP Muhammadiyah

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button