Pemimpin Persyarikatan, Egaliter atau Egoisme?

PDM DEPOK – Oleh: Muhsin MK*
Egaliter artinya bersifat sama atau sederajat. Gaya kepemimpinan yang egaliter ditandai dengan sikap rendah hati, pemimpin yang tidak menempatkan diri sebagai golongan elite. Pemimpin egaliter selalu menempatkan dirinya sama dengan yang dipimpinnya dan masyarakat pada umumnya. Dia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Berbeda dengan egoisme yang berarti mementingkan, menguntungkan, mengutamakan dirinya sendiri dan mengabaikan orang yang dipimpinnya atau masyarakat lingkungannya, termasuk orang dekat dan dicintainya. Selain itu, pemimpin yang egois, setelah terpilih lupa pada orang-orang yang memilihnya karena dirinya lebih diperhatikan dan diutamakan dari yang lainnya.
Tentu saja, pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah sejak KH Ahmad Dahlan hingga Prof Dr Haedar Nashir umumnya bersikap egaliter. Mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan dekat dengan warga Muhammadiyah, umat Islam, dan masyarakat di manapun dia berkunjung.
Ketika KH Ahmad Dahlan datang ke daerah, kehadirannya diharapkan dan disambut oleh umat Islam dan masyarakat dengan baik. Dengan rendah hati, beliau bergaul dengan umat dan masyarakat sehingga Muhammadiyah yang didirikannya diterima dengan baik dan banyak yang mau menjadi pengikutnya.
Demikian pula Haedar Nashir saat mengunjungi daerah di manapun disambut dengan meriah oleh jamaah Muhammadiyah dan masyarakat setempat. Beliau pun dengan rendah hati menyapa dan berbincang bincang dengan siapa pun.
Hal yang sama dilakukan oleh pemimpin Aisyiyah sejak Siti Bariyah kader KH Ahmad Dahlan dan istrinya Siti Walidah. Sebagai Ketua Umum PP Aisyiyah yang pertama dan kedua juga egaliter dan rendah hati pada jamaah dan pemimpin Aisyiyah seluruh Indonesia, serta masyarakat yang dikunjunginya.
Demikian pula Ketua Umum PP Aisyiyah saat ini, Dr. Apt Obayinah Salmah. Beliau sedemikian egaliter dan rendah hati terhadap siapa pun, baik dengan pimpinan maupun ibu-ibu Aisyiyah di daerah atau masyarakat setempat. Sikap kepemimpinan yang egaliter akan membuat kekaguman dan penghormatan dari keluarga besar Muhammadiyah dan Aisyiyah di seluruh Indonesia dan dunia, termasuk dari masyarakat dan pemerintah.
Sekalipun dalam kepemimpinannya banyak hambatan, rintangan, dan tantangan, setiap pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah akan menghadapinya dengan penuh tanggung jawab, rendah hati, dan bersungguh-sungguh.
Teladan Pemimpin Persyarikatan
Tercatat dalam sejarah bagaimana KH Ahmad Dahlan saat mendatangi daerah Banyuwangi hendak memberikan pengajian sempat menerima ancaman pembunuhan. KH Ahmad Dahlan tetap datang dengan tenang dan bertawakal pada Allah. Beliau mengisi pengajian dengan gagah berani menerangkan ajaran Islam dengan baik dari awal hingga akhir tak ada seorang pun yang datang hendak membunuhnya.
Melihat kepribadian KH Ahmad Dahlan yang egaliter dan rendah hati menghormati siapa pun orang yang datang menjumpai dan berbicara dengannya. Justru menarik orang, jamaah, dan masyarakat setempat menerima paham Muhammadiyah.
Sementara itu, Haedar Nashir berbeda lagi tampilan kepribadian dan sikap egaliter dan rendah hatinya. Sebagaimana mengikuti jejak para pendahulunya beliau tak segan menyapa siapa saja yang bertemu dengannya. Beliau dengan bersahaja naik kereta api dari stasiun seperti halnya masyarakat biasa. Membawa tas dan kardus seperti orang kebanyakan hendak pulang ke kampung halaman.
Begitu pula pemimpin Aisyiyah dari masa ke masa yang selalu berkomunikasi dan berkunjung ke daerah menjumpai dan menyapa anggotanya dan masyarakat. Mereka berbicara dengan siapa saja tanpa melihat status sosial dan strata masyarakat.
Kepemimpinan Kolektif Kolegial
Pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah di semua tingkatan juga rata rata cenderung bersikap egaliter dan tidak egoisme. Egoismenya benar-benar dikesampingkan karena mereka memimpin dan bekerja atau bekerja sama dengan orang-orang yang paham berorganisasi, beradab, dan berpengalaman.
Apalagi kepemimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah bersifat kolektif dan kolegial membuat ketua umum atau ketuanya akan selalu bermusyawarah dan bekerja sama dalam menghadapi masalah dan melaksanakan berbagai aktivitas organisasi dan amal usahanya.
Sistem kolektif dan kolegial yang diterapkan di Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak memungkinkan para pemimpinnya mengedepankan egoisme. Justru sistem ini melahirkan sikap egaliter pada pribadi mereka. Apalagi, program Muhammadiyah dan Aisyiyah ditetapkan dalam musyawarah bersama melalui proses pemikiran dan pembahasan secara bersama sama tak membuat para pemimpinnya akan berjalan sendiri sendiri dalam melaksanakan semua program.
Tentu, semua program organisasi akan direalisasikan secara bersama-sama dan bekerja sama, sehingga tidak ada yang merasa dominan dan bersikap egoisme dalam mewujudkan program kegiatan tersebut. Setiap pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah akan berbagi peran dan tugas dengan baik dalam melaksanakan program kegiatan. Termasuk saat mereka menerima undangan baik internal atau eksternal.
Tidak semua undangan dari dalam dan luar negeri yang diterima pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah harus dilakukan dan dijalankan oleh ketua umum atau ketuanya. Mereka berbagi tugas dan kesempatan yang sama sesuai posisi dan fungsinya. Namun, terkadang juga mereka pergi dan berangkat bersama-sama memenuhi undangan dan atau hendak melaporkan masalah dan menyampaikan pesan yang penting kepada pemerintah, khususnya kepala negara atau presiden.
Dengan sifat kolektif dan kolegial secara organisatoris, egaliter, dan tidak egoisme, para pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak ada yang datang sendirian saat bertemu kepala negara atau presiden. Termasuk pemimpin Persyarikatan pada tingkat di bawahnya. Mereka bersikap sama pada saat menerima undangan dan atau menghadap gubernur, bupati dan wali kota di daerahnya masing-masing.
Catatan untuk Kaum Muda
Mengedepankan sikap egaliter daripada egoisme ini menjadi kepribadian Muhammadiyah dan Aisyiyah sejak didirikannya. Keadaan inilah yang menjadikan Persyarikatan semakin solid dan kokoh, sehingga tidak mudah dipecah belah dan digoyang dari dalam ataupun luar Persyarikatan. Usia Persyarikatan yang semakin tua, Muhammadiyah kini berusia 112 tahun. Aisyiyah sudah 107 tahun, tak akan mudah lagi dilemahkan, digoyang, dan dipecah belah oleh siapa pun. Mengedepankan sikap egaliter dan rendah hati, mengesampingkan egoisme dan mementingkan pribadi para pemimpinnya, ini menjadi benteng yang kokoh bagi Persyarikatan.
Sudah seharusnya bagi pemimpin generasi muda Muhammadiyah dan Aisyiyah belajar banyak kepada orang tuanya agar menjadi pemimpin yang bersikap egaliter dan menjauhkan egoisme. Sebab, generasi muda Muhammadiyah dan Aisyiyah masih berjiwa muda membara, sehingga pemimpinnya pun mudah terjebak pada sikap egoisme. Apalagi, banyak tawaran kekuasaan dan jabatan dalam konteks pemerintahan. Wallahu ‘alam.
*Penulis buku Biografi KH.M.Usman: Perintis Muhammadiyah Depok Ulama dan Pejuang Bangsa. 2018. Depok: Idea