Menyambut Tamu dengan ‘Ṭala’al Badru’ Diiringi Marawis, Bagaimana Hukumnya?
PDM DEPOK – Oleh: Ustaz Nur Fajri Romadhon*
Terkadang sebagian sekolahan Muhammadiyah dikunjungi sejumlah tokoh, pejabat, ataupun tim penilai. Sebagaimana tradisi di banyak tempat, ada penyambutan di awal kedatangan para tamu tersebut berupa pemukulan rebana/marawis sambil diiringi pembacaan syair “Ṭala’al Badru” dengan tujuan menghormati dan memuliakan tamu yang memang termasuk sebagian dari kesempurnaan iman seperti disebutkan sejumlah hadis. Bagaimanakah jika para siswa/i sekolahan Muhammadiyah melakukan penyambutan yang demikian itu?
Mengingat belum dijumpainya fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (MTT PP) Muhammadiyah secara spesifik terkait ini, maka sementara waktu dapatlah kita memperkirakan pandangan yang paling sesuai dengan produk-produk ketarjihan yang sudah ada. Aktivitas ini sendiri mengandung setidaknya tiga isu: menyengaja berdiri menyambut tamu saat ketibaan, menggunakan instrumen alat musik berupa marawis, dan membacakan syair-syair tertentu dalam bahasa Arab.
Terkait isu pertama, dalam salah satu fatwa MTT dinyatakan: “Menghormat dengan cara berdiri itu dibolehkan sepanjang sikap tersebut datang dari orang yang menghormat bukan karena keinginan pribadi orang yang dihormat.” (Tanya Jawab Agama Jilid II: 202). Di antara dalil yang disinggung MTT tentang kebolehan ini ialah: “Sesungguhnya Rasulullah saw berkata kepada kaum Anshar tatkala Sa’ad bin Mu’adz ra menghadap beliau: berdirilah kalian kepada tuan (pemimpin) kalian dan hormatilah tamu itu.” (HR. Al-Bukhāriyy & Muslim).
Dikatakan oleh MTT: “Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menyebutkan Nabi saw memerintahkan orang-orang Anshar itu berdiri menyambut Sa’ad bin Mu’adz dilihat dari konteksnya Sa’ad bin Mu’adz di samping seorang tokoh juga dalam kapasitasnya sebagai tamu, sementara Nabi sendiri menyuruh kita menghormati tamu.” (Tanya Jawab Agama Jilid II: 202).
Memang benar, MTT pun pernah nyatakan: “Ketika Nabi masih hidup, kalau beliau hadir di suatu majelis, beliau melarang para shahabat berdiri menghormatinya. Beliau adalah Nabi, bukan raja yang senang dipuji berlebih- lebihan.” (Tanya Jawab Agama Jilid IV: 140). Namun, MTT juga menjelaskan: “Hadits riwayat Abu Dawud, bahwa larangan berdiri itu dalam kasus pribadi Nabi sendiri yang memang tidak senang dengan penghormatan yang berlebihan. Sehingga tidak bisa dibawa/disimpulkan secara umum.” (Tanya Jawab Agama Jilid II: 202).
Kemudian, isu kedua tentang memukul rebana/marawis, maka jangankan alat musik perkusi yang berasal dari Arab seperti ini, di mana para ulama yang ketat soal penggunaan alat musik pun membolehkannya (Tuhfatul Muhtaj Jilid IV: 404-408), seruling saja MTT sudah memfatwakan kebolehannya sekalipun tak bersesuaian dengan pandangan pribadi yang dipegang KH. Ahmad Dahlan (Tanya Jawab Agama Jilid II: 198).
Dalam salah satu fatwanya, MTT menuliskan: “H. Ahmad Dahlan pernah menulis dalam SM tahun 1915 bahwa membunyikan seruling itu dilarang termasuk maksiat tujuh anggota badan. Apa yang ditulis itu adalah berdasar fatwa pada masa itu dan didasarkan pada pemahaman kitab yang dipelajari masa itu juga, serta kejadian pada saat itu.”
Lanjutannya: “Seperti kita ketahui bahwa di masa itu pemahaman kita terhadap agama masih belum luas, masih terfokus pada ibadah mahdlah belum diluaskan pada pemahaman ibadah ‘aammah dan ijtimaa’iyyah. Belum dibedakan antara alat dan tujuan, karenanya dalam memahami alat seruling yang dahulu dibunyikan dalam rangka untuk bersenang-senang belaka dihukumi haram. Haram pula mendengarkannya, karena dapat melalaikan diri kita pada Allah.”
“Setelah berdiri Majelis Tarjih, dilakukan pemahaman terhadap masalah- masalah yang perlu dipikirkan kembali pemahamannya, termasuk masalah yang disebut alatulmalahiy, yang kesimpulannya bahwa alatulmalahiy, yakni alat bunyi-bunyian (termasuk seruling dan kendang) hukumnya berkisar pada illat-nya (sebabnya). Kalau menarik kepada keutamaan, hukumnya sunat. Kalau sekadar main-main belaka hukumnya makruh (tentu kalau tidak menimbulkan kerusakan). Sedang kalau bunyi-bunyian itu dapat membawa pada maksiat hukumnya haram.” (Tanya Jawab Agama Jilid II: 198).
Begitu pula dalam salah satu putusan tarjih: “Menari, menyanyi, dan memainkan musik pada dasarnya mubah. Larangan timbul karena suatu yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan agama.” (Himpunan Putusan Tarjih Jilid III: 164).
Sementara isu ketiga, maka adalah benar bahwa dalam sebagian fatwa MTT ada catatan kritis terhadap konten sebagian lafal salawat/bacaan yang populer di sebagian masyarakat (Tanya Jawab Agama Jilid VI: 146-147 dan Fatwa MTT PP Muhammadiyah 20 Desember 2013). Namun, “Ṭala’al Badru” tidak termasuk yang diberikan catatan demikian. Malah ia umumnya tidak disebut shalawat, melainkan hanya tergolong syair. Isinya pun tidak mengandung pujian-pujian yang berlebihan kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.
Dengan demikian, “Ṭala’al Badru” termasuk syair yang boleh disenandungkan atau dinyanyikan, termasuk oleh perempuan. MTT memfatwakan: “Suara perempuan itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang dinyanyikan oleh orang perempuan, asal penampilannya sopan, menutup aurat, tidak mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta nyanyian yang dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hawa nafsu berahi.” (Tanya Jawab Agama Jilid VII: 149).
Dengan demikian, yang sesuai dengan produk-produk ketarjihan Muhammadiyah ialah kebolehan sekolahan Muhammadiyah menyambut tamu dengan menyenandungkan “Ṭala’al Badru” dengan diiringi pukulan marawis. Wallāhu a’lam.
Depok, 27 Agustus 2023
*Penulis merupakan Ketua MTT PDM Kota Depok & Wakil Ketua MTT PWM Provinsi DKI Jakarta