Amal Usaha Muhammadiyah

Mengenal Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Bagian 5)

4. Metode

            a. Interpretasi

            Metode Interpretasi ditujukan untuk menjelaskan ayat dan hadis Ragam ini digunakan untuk menangani kasus-kasus yang sudah terdapat nas langsung mengenainya, hanya saja nas itu bersifat masih kabur sehingga perlu diperjelas. Contohnya ialah fatwa tentang membatalkan puasa sunnah tanpa uzur: “Rasulullah pada hari pembukaan Makkah rumah saya, ketika disuguhkan minuman beliau pun minum dan menawarkan padaku minuman, maka aku jawab bahwa saya sedang puasa. Maka Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya orang yang melakukan puasa sunat sebagai tuan dirinya, kalau engkau  menghendaki puasa puasalah terus dan apabila menghendaki (berbuka) berbukalah.” (HR. Ahmad, Ad Daraqulhny dan Baihaqy). Hadis di atas menunjukkan kebolehan untuk memutuskan puasa sunat, dan hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah yang berbunyi WALAA TUBTHILUU A’MAALAKUM tersebut pada Surat Muhammad ayat 33 yang artinya: “Janganlah kamu membatalkan perbuatanmu”. Maksudnya ialah, janganlah kamu merusak pahala amatmu. Dalam tafsir disebutkan, maksudnya ialah janganlah kamu merusak amal kebajikanmu dengan melakukan perbuatan maksiat.”[1]

            b. Kausasi

Metode Kausasi digunakan untuk memecahkan masalah yang tidak terdapat nas langsung mengenainya. Prosesnya dilakukan dengan cara menggali kausa, baik efisien maupun finalis, yang dapat memberikan landasan bagi hukum kasus tersebut. Contohnya ialah dalam fatwa mengenai hukum bedah mayat: “Jika larangan memecah tulang dan merusak anggota badan mayat itu dengan alasan karena memperlakukan bagian badan mayat tidak secara terhormat, maka yang dapat dipandang sebagai illat hukumnya adalah tindakan yang mengandung unsur penghinaan, lebih-lebih jika sifat penganiayaan. Jika unsur penghinaan tidak ada seperti untuk sesuatu kepentingan yang dibenarkan syara’, maka ‘illat larangan menjadi tidak ada, dan hukumnya pun tidak dilarang. Misalnya untuk keperluan pendidikan kedokteran, untuk praktik anatomi diperlukan pembedahan tubuh mayat. Karena pernbedahan mayat itu dilakukan untuk keperluan yang dibenarkan syara’, untuk memenuhi keperluan ilmu kedokteran, maka pembedahan dapat dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak.”[2]

            c. Sinkronisasi

Metode Sinkronisasi digunakan untuk menemukan ketentuan hukum bagi kasus-kasus yang untuknya terdapat dalil-dalil yang nampak saling bertentangan.  Contohnya ialah tentang hukum mengangkat tangan saat berdoa. Ada hadis yang mengesankan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengangkat tangan saat doa kecuali untuk Istisqa’. Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketika berdoa, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” [HR. Muslim].

Di sisi lain, ada hadis yang menunjukkan bahwa beliau mengangkat tangan juga saat berdoa di selain Istisqa’. Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Hidup lagi Maha Dermawan, Dia malu kepada harnba-Nya apabila ia berdo’a dengan mengangkat ke dua tangannya, menolaknya dengan hampa.” [HR. Abu Dawud] Lantas Majelis Tarjih & Tajdid melakukan Sinkronisasi antara kedua hadis tersebut dengan memfatwakan: “Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a adalah sunnah atau mustahab, dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdoa Istisqa’.”[3]

Memang pada akhirnya semua aktivitas ketarjihan di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga: (a) Memilih salah satu pendapat dari mazhab apa pun yang dipandang paling benar, (b) melahirkan fatwa baru yang belum pernah ada untuk kasus kontemporer, serta (c) mengubah fatwa yang pernah dikeluarkan. Sudah tentu, ijtihad membedakan antara hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak berubah (tsawabit) dan hal-hal yang mungkin berubah (imkan al-taghayyur) yang berkaitan erat dengan ruang dan waktu tertentu[4].

Wallahu a’lam. Nashrun minallahi wafathun qarib wabasysyiril mu’minin.


[1] Tanya Jawab Agama jld. II hlm. 130.

[2] Tanya Jawab Agama jld. I hlm. 163.

[3] Tanya Jawab Agama jld. VI hlm. 30.

[4] Risalah Islam Berkemajuan hlm. 13.

Related Articles

Back to top button