Keislaman

Klasifikasi Hukum Syar’i

PDM DEPOK – Oleh: Ust. Nur Fajri Romadhon*

“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama,” demikian tulis Prof. Asjmuni Abdurrahman, “bahwa Tuhan tidak membiarkan manusia begitu saja dalam kebingungan tidak mempunyai pedoman hukum. Sebagian hukum ditunjuki oleh nash, tetapi sebagian lagi tidak diberikan hukum itu dengan nash yang jelas dan terperinci. Mengandung hikmah yang tinggi Tuhan hanya memberikan hukum dengan nash-nashnya terhadap sebagian saja dari kejadian yang dihadapi manusia. Dalam masalah yang Tuhan tidak memberi nash dan Nabi juga tidak memberikan sunnahnya, Tuhan memberi petunjuk-petunjuk dan cara-cara untuk mencapai hukum dimaksud bagi para ahli yang mempunyai minat dan kesanggupan untuk itu, dengan dasar dan metode Ijtihad.”[1] Ya, memang hasil akhir dari proses Ijtihād yang sudah dibahas sebelumnya ialah hukum-hukum syariat Islam, atau yang disebut sebagai Hukum Syar’i.

Hukum Syar’i adalah titah Allah swt yang dihadapkan kepada para hamba berkaitan dengan perbuatan mereka[2]. Artinya bila hukum suatu perbuatan adalah Haram, maka artinya Allah swt bertitah kepada kita bahwa kita tercela dan terancam hukuman bila mengerjakan perbuatan tersebut serta bahwa kita harus meninggalkannya plus diberi pahala atas itu. Begitu pula apabila hukum suatu perbuatan adalah Syarth (Syarat), maka artinya Allah swt bertitah kepada kita bahwa perbuatan tersebut bila tidak dikerjakan, maka tidak sah perbuatan lain yang terkait[3].

Dari uraian Prof. Syamsul Anwar[4]  dan Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy[5], kita bisa peroleh informasi bahwa menyebutkanbahwa ada dua macam Hukum Syar’i, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i dengan rincian seperti berikut.

Hukum Taklifi

Ia adalah hukum-hukum yang mengandung tuntutan berupa perintah atau larangan atau keizinan antara mengerjakan atau meninggalkan[6].

  1. Wajib, yaitu hukum yang kita dituntut oleh syariat untuk mengerjakannya dengan tuntutan yang tegas dan kita dicela bila meninggalkannya[7]. Orang yang mengerjakan perbuatan Wajib diberikan pahala tapi orang yang meninggalkannya dikenakan dosa.
  2. Mandub, yang sering juga disebut sebagai Sunnah/Sunat. Ia adalah hukum yang kita dituntut oleh syariat untuk mengerjakannya dengan tuntutan yang tidak tegas dan kita tidak dicela bila meninggalkannya[8]. Orang yang mengerjakan perbuatan Mandub dijanjikan pahala namun bila ia meninggalkannya, tidak dikenakan dosa.
  3. Mubah, yaknih hukum yang dibolehkan kita oleh syariat untuk memilih antara mengerjakan dan meninggalkannya[9]. Orang yang mengerjakan perbuatan Mubah tidak diberikan pahala serta bila ditinggalkan, tak dikenakan dosa.
  4. Makruh, yaitu hukum yang kita dituntut oleh syariat untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang tidak tegas dan kita tidak dicela bila mengerjakannya[10]. Orang yang mengerjakan perbuatan Makruh tidak dikenakan dosa tapi ia diberikan pahala bila meninggalkannya. Contohnya dalam Putusan/Fatwa Tarjih Muhammadiyah ialah olahraga tinju kalau hal itu tidak mendatangkan kecelakaan yang fatal[11]. Begitu pula contohnya berpuasa setahun penuh dengan mengecualikan hari Idulfitri, Iduladha, dan hari-hari Tasyrīq hukumnya makruh bila fisiknya kuat[12]. Ada lagi yang makruh yaitu memainkan alat musik hanya sekedar untuk main-main belaka, tak mendatangkan manfaat apa-apa[13].
  5. Haram yang maknanya adalah hukum yang kita dituntut oleh syariat untuk meninggalkannya dengan tuntutan yang tegas dan kita dicela bila mengerjakannya[14]. Orang yang mengerjakan perbuatan Haram dikenakan dosa namun orang yang meninggalkannya diberikan pahala. Contoh perbuatan yang diharamkan dalam Putusan/Fatwa Tarjih ialah berduaan/berkhalwah di suatu tempat yang mengarah pada perbuatan zina antara seorang pria dengan seorang wanita, tanpa ditemani oleh mahramnya[15].

 

Hukum Wadh’i

Yaitu hukum-hukum yang dijarikan ketentuan atau hasil dari suatu perbuatan[16]. Ada beberapa macam Hukum Wad’i, di antaranya:

  1. Sebab (Sabab), contohnya memakmurkan tanah mati tak bertuan merupakan sebab Pemerintah berhak memberikan tanah tersebut kepadanya[17].
  2. Syarat (Syarth), seperti berlalunya ḥawl merupakan syarat wajibnya zakat[18].
  3. Penghalang (Māni’), misalnya status seseorang sebagai ahli waris merupakan penghalang ia dari menerima wasiat[19].
  4. Sah (Shiḥḥah), semisal pernikahan sah jika sesuai aturan syariat., konsekuensinya, hubungan suami istri mereka itu tidak dianggap perzinaan[20].
  5. Batal (Buthlān), contohnya tidur berbaring dengan nyenyak membuat wudhu batal[21].

Bila kita perhatikan, maka tidaklah ada perbuatan kita melainkan mengandung ketentuan hukum. Dengan begitu, maka kita dapat memaksimalkan tugas hidup kita di dunia ini selama tujuh hari 24 jam dalam rangka ibadah, mengabdikan diri kepada Allah swt. Semua ketentuan hukum di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyulitkan manusia, buktinya tidak semuanya haram atau wajib. Malahan hukum asal perbuatan duniawi adalah Mubah[22]. Justru ketentuan hukum di atas merupakan kasih sayang Allah swt bagi manusia. K.H. Dr. Hamim Ilyas menyebutkan bahwa agama Islam beserta hukum-hukumnya berfungsi mempersatukan, menyelamatkan, dan memperbaiki kehidupan manusia[23]. Nashrun minallāhi wafatḥun qarīb wabasysyiril mu’minīn.

*Wakil ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah DK Jakarta sekaligus ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah Kota Depok.

 

Referensi

[1] Asjmuni Abdurrahman, Pengantar kepada Ijtihad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 8-9.

[2] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 16.

[3] Syamsul Anwar, Ushūlul Fiqh (Yogyakarta: LPPI UMY, 2018), hlm. 28.

[4] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer Bagian Dua, (Yogyakarta: UAD Press, 2020), hlm. 31.

[5] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[6] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[7] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[8] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[9] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[10] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[11] Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld.I hlm. 202.

[12] Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. IV hlm. 179-180.

[13] Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), jld. I hlm. 285 & Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. II hlm. 196.

[14] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[15] Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. VII hlm. 104.

[16] Pengantar Ilmu Fiqih, hlm. 17.

[17] Ushūlul Fiqh, hlm. 34.

[18] Ushūlul Fiqh, hlm. 34.

[19] Ushūlul Fiqh, hlm. 34.

[20] Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. VIII hlm. 39.

[21] Himpunan Putusan Tarjih, jld. I hlm. 49.

[22] Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018),  jld. III hlm. 131.

[23] Hamim Ilyas, Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, (Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2018), hlm. 293.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button