Filosofi Pengajaran: Self-Decision Menurut KH Ahmad Dahlan
PDMDEPOK.COM – Indonesia seringkali mengalami fenomena sesama umat muslim saling menyalahkan karena perbedaan pendapat tentang bagaimana Islam memandang sebuah fenomena sosial. Tidak jarang beberapa kelompok masyarakat berbasis keislaman membenarkan apa yang dilakukannya dengan menyalahkan perilaku yang dilakukan kelompok lainnya. Konflik yang awalnya hanya perdebatan semata, bisa saja merambat hingga menjadi sebuah konflik sosial. Misalkan saja konflik yang pernah terjadi di Banyuwangi pada tahun 2021 lalu, yaitu pelarangan untuk mendirikan masjid. Nadhalatul Ulama (NU) melarang dibangunnya sebuah masjid yang akan didirikan oleh Muhammadiyah. Konflik semacam ini tidak tercetus seketika, tetapi akibat dari isu-isu intoleran yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, konflik semacam ini terjadi di Jombang, dimana adanya penolakan terhadap pembangunan pondok pesantren untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang akan dibangun oleh Muhammadiyah. Tidak hanya konflik antar sesama organisasi masyarakat berbasis agama Islam, tetapi konflik internal juga mungkin saja terjadi. Misalkan, konflik yang terjadi antar sesama warga Muhammadiyah di Sumatera Barat sekitar tahun 1980-an. Dalam politik praktis, Muhammadiyah pernah mengalami sebuah perdebatan internal. Ketika pada tahun 2003, saat Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi, Muhammadiyah secara resmi mendukung salah satu calon yang memang merupakan seorang kader. Namum, beberapa tokoh juga menyayangkan dukungan ini karena satu dan lain hal, termasuk ketidaksesuaian dengan Khittah Ujung Pandang pada tahun 1972 dan di Denpasar tahun 2002. Selalu ada saja perbedaan pemikiran dan keputusan setiap momenya, tidak hanya antara Muhammadiyah dengan organisasi masyarakat lainnya, tetapi juga antara anggota internal didalamnya. Lalu bagaimana sebenarnya KH. Ahmad Dahlan menilai perbedaan ini? Apa resolusi yang ideal diberikan oleh beliau?
Pada awal bab kedua dalam bukunya dengan judul “The Teaching of KH Ahmad Dahlan”, dengan topik the second teachings, Ia menuliskan sebuah kutipan, “man generally is arrogant, big-headed, making self-decision due to selfish”. Jauh sebelum konflik pemikiran di era-era eksisnya Muhammadiyah di Indonesia, individu yang memercayai adanya Tuhan dan beragama (penganut) bertanya-tanya tentang apakah yang dipikirkan oleh unbelievers (individu yang tidak percaya dengan agama). Tidak hanya muslim, penganut agama lainnya, termasuk kristiani akan memiliki pertanyaan tersebut. Satu sisi, secara personal, muslim cukup prihatin dengan mereka yang unbelievers karena tanpa adanya kebenaran dan kebathilan yang tetap, unbelievers tidak memiliki pandangan surgawi setelah kematian. Tetapi, bagi unbelievers, mereka percaya tidak ada yang namanya penghakiman, penimbangan amal baik, serta surge dan neraka ketika telah meninggal. Keyakinan muslim bahwa adanya penghakiman serta kehidupan setelah kematian disebut dengan self-evident.
Terkadang, self-evident muncul pada konteks-konteks yang lebih duniawi dan terhubung dengan interaksi sosial. Dalam hal ini, KH. Ahmad Dahlan bertanya-tanya, kenapa pemimpin agama berpikir bahwa mereka merupakan orang yang paling benar dan tidak melakukan sebuah konferensi untuk menerangkan benar atau salah pada sebuah fenomena. Tanpa melakukan konferensi-konferensi organisasi, mereka hanya terfokus pada opini subjektifnya, yang mana mencari pembenaran kepada istrinya, muridnya, teman maupun gurunya sendiri. Bagaimanapun, menurut KH. Ahmad Dahlan, pemimpin agama seharusnya mengadakan sebuah konferensi untuk memecahkan masalah terkait dengan kebenaran dan sebuah kekeliruan. Dalam Islam misalnya, kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyalahkan Mu’tazilah, dan mereka saling menyalahkan satu sama lain. Tidak hanya itu, dalam konflik kepentingan di Indonesia, bagaimana pemimpin organisasi berbasis agama memutuskan gerakan organisasi tanpa mendengarkan pendapat dari anggota lainnya karena menganggap argumennya lebih baik daripada anggota lainnya. Proses inilah yang disebut dengan self-decision (keputusan diri sendiri).
Ketika seseorang memutuskan sesuatu, menurut sebuah riset dengan judul “Self-relevance enhances evidence gathering during decision-making”, jika individu merasa memiliki suatu hal, itu akan membuatnya menjadi lebih cepat dan akurat untuk memutuskan. Jika individu merasa memiliki sebuah benda atau tanggung jawab tertentu, ia akan menerima rangsangan (sinyal) lebih cepat, dibandingkan orang lain yang tidak merasa memiliki. Pada penelitian lainnya berjudul “If not me then we: Goal tradeoffs in decision-making for the self, ingroup, and outgroup”, peneliti menemukan pada individu bahwa pengorbanan pada organisasi sendiri lebih kuat dibandingkan kelompok diluar organisasinya. Rasa akan memberikan pengorbanan ini tergambarkan pada informasi dan perubahan dalam menggunakan informasi tersebut ketika mengambil sebuah keputusan. Pada risetnya, terdapat hasil bahwa struktur kognitif yang memproses pengambilan keputusan itu saling terkait, khususnya melihat perbedaan antar kelompok. Hal ini menyebabkan individu lebih paham, tentang kapan dan bagaimana perbedaan antar kelompok dan perilaku prososial akan muncul.
Dalam perspektif Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang hal ini.
مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًاۗ كُلُّ حِزْبٍ ۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ ٣
(yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka (QS. Ar-Rum: 32)
Pada beberapa muslim secara tidak sadar (berpura-pura) merasa menjadi individu yang paling benar tanpa mempertimbangkan lainnya, termasuk tanpa melakukan diskusi tetapi membenarkan argument-argumennya (hujjah). Karenanya, biasanya mereka enggan dan saling berkonflik ketika seharusnya mereka memecahkan masalah tersebut dengan saling melakukan reviewing. Tapi, kenyataanya mereka hanya berasumsi bahwa apa yang mereka percayai adalah sebuah kebenaran yang solid.
اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَࣖ ٩
Atau, apakah mereka merasa aman dari siksa Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada orang yang merasa aman dari siksa Allah, selain kaum yang rugi (QS. Al-A’raf: 99)
KH. Ahmad Dahlan mengutip QS. Al-A’raf ayat 99 dalam bukunya. Apakah semua argument kita sudah benar? Manusia hanya hidup satu kali di dunia ini, dan ketika kita ternyata salah, maka akan menderita. Mereka (pemimpin agama yang egois), bagaimanapun berpura-pura menjadi orang yang paling benar, membenarkan sebuah opini, dan tidak mempertimbangkan orang lain.
Penulis: Yansa Alif Mulya (Kader IMM UI)