Filosofi Haji Dalam Manasik Kehidupan

PDMDEPOK.COM – Ibadah haji secara filosofis merupakan gambaran perjalanan kehidupan manusia. Praktik-praktik ritual di dalamnya sarat dengan makna-makna simbolik yang penting dijadikan renungan. Pelaksanaan ibadah haji tidak cukup hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya tanpa menyelami arti terdalam di balik setiap rangkaian ritualnya.Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata menjaga koneksi secara vertikal dengan Allah, justru yang tak kalah penting adalah menangkap makna filosofis haji sebagai pelajaran untuk membangun kesejatian diri dalam mengarungi manasik kehidupan. Maka, menemukan hikmah dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim umumnya dan para jamaah haji khususnya.Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang mengingatkan manusia tentang perjalanan hidup menuju kematian dan kembali kepada Allah. Karena itu, bekal terbaik dalam ibadah haji sejak sebelum berangkat, selama dalam manasik, dan perjalanan pulang, bahkan keseluruhan hidup manusia adalah niat pasrah sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya.
Semua ibadah dalam Islam, termasuk ibadah haji wajib diawali dengan niat meraih ridha Allah. Bukan demi melambungkan status sosial, terlebih hanya untuk mendapat gelar ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajah.’ Jamaah haji harus patuh tunduk dengan menanggalkan segala pakaian kehormatan duniawi dan diganti dengan kain ihram, yakni dua helai kain berwarna putih tanpa jahitan.Saat di Tanah Suci, para jamaah haji berbusana ihram yang serba putih bersih. Barangkali kita bertanya, kenapa harus kain berwarna putih? Putih adalah tanda kesucian. Tentu saja, bukan hanya putih pakaiannya, melainkan juga putih hati dan jiwanya, seputih kain ihram.Manusia dari segala pelosok dunia, dengan segala macam warna kulit, aneka ras, bangsa, adat istiadat, dan ideologi politik yang berbeda saling bertemu. Ihram mengajarkan kepada manusia agar tidak merasa lebih unggul dari sisi kedudukan, pangkat, derajat sosial, dan keturunan. Pakaian ihram menunjukkan kesederhanaan dan keluar dari gemerlap dunia.
Melepas pakaian sehari-hari dan menggantinya dengan dua helai kain ihram mengandaikan kondisi seseorang yang meninggal dunia. Dia harus melepaskan semua atribut keduniawian dan berganti dengan kain kafan. Kenyataannya, pakaian dunia itulah yang kerap membuat manusia lupa diri, sehingga bersikap sombong dan angkuh di hadapan sesama.Pakaian dunia selama ini telah membentuk pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Mengutip Ali Shariati (1983), pakaian menciptakan “batas palsu” yang menyebabkan “perpecahan” di antara umat manusia. Selanjutnya, dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita.”Jika sudah timbul konsep “aku”, maka akan terjadi diskriminasi, egoisme, dan individualistik. Sementara konsep “kami atau kita” menunjukkan kebersamaan, keterbukaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Saat memasuki miqat, setiap jamaah haji mengenakan pakaian ihram yang sama, sehingga tidak terlihat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah gambaran bahwa manusia ketika menghadap Allah hanya kain kafan yang melekat pada jasadnya.Sedangkan harta benda dan tahta tidak ada yang dibawa. Mereka akan bertemu pada waktu yang sama di tempat yang sama, dan Allah adalah tujuan akhir kehidupan.Miqat merupakan titik awal dari sebuah perubahan dan revolusi besar. Karena itu, sebelum memasuki miqat, jamaah haji harus menyatakan niat meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan pekerjaan untuk menuju rumah Allah (Baitullah) sebagai babak kehidupan baru demi meninggalkan “keakuan” untuk berserah diri kepada Allah, meninggalkan penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan, meninggalkan diskriminasi rasial untuk mencapai kesetaraan, serta meninggalkan kenikmatan sesaat untuk meraih kebahagiaan yang abadi.
Setelah berniat dan memakai kain ihram, para jamaah haji menuju Masjid al-Haram untuk melakukan thawaf. Thawaf merupakan rukun haji memutari Kakbah sebanyak tujuh kali putaran. Menurut sebuah riwayat, ketika nabi Adam diusir dari surga ke bumi, hal yang paling disedihkan adalah tidak bisa lagi mengikuti ibadah bersama malaikat mengelilingi ‘Arasy (singgasana Allah). Kemudian nabi Adam dihibur dengan dibangunkan Kakbah sebagai miniatur ‘Arasy.Kedudukan thawaf dalam ritual haji sangatlah tinggi sebab mengandung makna filosofis tersendiri. Bahkan, kedudukan thawaf disamakan dengan shalat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW,“Thawaf mengelilingi Baitullah itu sama seperti shalat, hanya saja, Allah memperbolehkan berbicara di dalam thawaf.” [HR. An-Nasa’i]
Berputar mengelilingi Ka’bah menjadi simbol mengikatkan diri hanya ke satu titik, yakni keridhaan Allah. Ini merupakan gerakan membebaskan diri dari berbagai ikatan perbudakan selain Allah. Tujuh kali putaran memiliki arti maknawi sebagai jumlah hari yang dijalani oleh umat manusia dalam sepekan senyatanya berpusat pada poros ketauhidan.Manusia tidak boleh terlepas dari ikatan tauhid: ikatan tempat berangkat, dan ikatan tempat kembali yang sama, yang lurus dan tidak ada dualisme antara tempat berangkat dan kembali. Karenanya, seluruh aspek kehidupan manusia tidak boleh terputus ikatannya dengan aturan Allah. Jika ikatan manusia dengan Allah terputus, maka terlepaslah dari pengawasanNya, yang berarti ia jauh pula dari lindunganNya.
Setelah melaksanakan thawaf, jamaah haji melanjutkan sa’i, yaitu berjalan dan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Al-Qur’an menyebutkan, Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah (QS. Al-Baqarah:158). Secara harfiah, Shafa artinya suci, sedangkan Marwah bermakna kemuliaan. Ini mengisyaratkan bahwa kesucian akan melahirkan sesuatu yang mulia. Dengan kata lain, kemulian hanya bisa ditempuh dengan niat yang suci.Dalam tinjauan historis, sa’i merujuk kepada perjuangan Siti Hajar bersama putranya, Ismail yang masih dalam gendongan, untuk mencari sumber air di lembah yang tandus. Berbekal keyakinan yang kuat disertai ketulusan hati, Hajar yang berlari dari bukit Shafa menuju Marwah, dan dari Marwah ke Shafa dalam upaya mencari air, akhirnya ia menemukan sumber air yang kini dikenal dengan “air zamzam.” Kisah inspiratif dari seorang Hajar, memberikan gambaran bahwa segala keinginan akan terwujud jika dilandasi niat yang ikhlas dan kerja keras.
Di Arafah, jamaah haji kemudian berkumpul dengan semangat persatuan. Mereka datang dari penjuru negeri yang beraneka ragam perbedaan. Namun, perbedaan tersebut diikat dengan tali persatuan dan persaudaraan.Di sini tidak ada si kaya, si miskin, pejabat, rakyat, yang kuat, yang lemah, yang tua, atau yang muda. Mereka berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Arafah yang berarti “pengenalan”, menjadi puncak perjalanan manusia menemukan jati dirinya sekaligus mengenal eksistensi Tuhan. Seorang Sufi mengatakan, “Siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Wukuf di Arafah menjadi salah satu momen paling penting dalam ibadah haji. Di sini, jamaah berdiri di bawah terik matahari, bersama-sama dengan jutaan Muslim lainnya, memohon ampunan dan berdoa kepada Allah. Wukuf di Arafah mengingatkan kita akan hari kiamat dan pentingnya memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia sebelum akhirat tiba.Proses melempar jumrah juga memiliki makna yang dalam. Ketika jamaah melempar jumrah, mereka mengenang perjuangan Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail, demi taat kepada perintah Allah. Melempar jumrah adalah simbol dari penolakan terhadap godaan setan dan kesungguhan untuk menjalankan perintah Allah dengan setia.Selain ritus-ritus utama, ada pula tata cara dan adab yang harus diikuti oleh jamaah selama manasik haji. Misalnya, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, berperilaku sopan dan santun terhadap sesama jamaah, serta menghindari perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak pantas selama menjalankan ibadah haji. Hal ini menunjukkan bahwa manasik haji tidak hanya mengajarkan ibadah secara formal, tetapi juga mencakup aspek kesopanan, keramahan, dan toleransi.Dalam konteks modern, meskipun proses manasik haji telah mengalami perkembangan teknologi yang memudahkan pelaksanaannya, penting bagi jamaah untuk tetap memahami makna dan filosofi di balik setiap ritus yang dilakukan. Teknologi mungkin membantu dalam hal logistik dan informasi, tetapi nilai-nilai spiritual dan kesadaran akan makna ibadah haji tetap menjadi inti dari pengalaman tersebut.
Dengan memahami makna dan filosofi di balik ritus manasik haji, seorang jamaah akan mampu menjalani ibadah dengan lebih mendalam dan bermakna. Proses persiapan haji bukan hanya tentang fisik dan logistik semata, tetapi juga tentang mempersiapkan hati dan jiwa untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Semoga setiap jamaah yang menjalani ibadah haji mendapatkan manfaat spiritual yang besar dan menjadi insan yang lebih baik setelah menjalani perjalanan suci ini.Selain memahami makna dan filosofi di balik ritus manasik haji, penting juga bagi jamaah untuk menghayati nilai-nilai universal yang diajarkan dalam ibadah haji. Salah satu nilai yang sangat ditekankan adalah kesederhanaan. Saat memakai pakaian ihram yang sederhana dan tanpa perhiasan, jamaah diingatkan akan pentingnya kesederhanaan dalam kehidupan. Ini merupakan pengingat bahwa di hadapan Allah, status sosial dan kekayaan material tidak memiliki arti apa pun. Yang lebih penting adalah keikhlasan dan ketakwaan dalam menjalankan perintah-Nya.
Selain itu, ibadah haji juga mengajarkan nilai persaudaraan dan solidaritas umat Islam. Saat jamaah berkumpul di tanah suci dari berbagai belahan dunia, perbedaan ras, budaya, dan bahasa menjadi tidak relevan. Mereka bersatu dalam satu tujuan yang sama, yaitu memperoleh ridha Allah dan mengukuhkan persatuan umat Islam. Ini adalah contoh nyata bahwa agama Islam mengajarkan kesatuan dan persaudaraan tanpa memandang perbedaan.Dalam konteks kehidupan sehari-hari, pelajaran tentang kesederhanaan dan persaudaraan ini sangat relevan. Di tengah masyarakat yang sering kali dipenuhi dengan materialisme dan perpecahan, nilai-nilai ini menjadi landasan yang kuat untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Kesederhanaan mengajarkan kita untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki, sementara persaudaraan mengajarkan kita untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain.
Selain itu, ibadah haji juga mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan. Dalam perjalanan haji, jamaah akan menghadapi berbagai tantangan fisik, emosional, dan spiritual. Mulai dari berdesak-desakan di tengah kerumunan orang, hingga cuaca yang panas dan cuaca yang dingin, serta jarak tempuh yang jauh. Semua itu adalah ujian-ujian yang harus dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan.Dari sinilah jamaah belajar untuk berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah dan percaya bahwa setiap cobaan pasti memiliki hikmah di baliknya. Pengalaman ini mengajarkan kita untuk tidak mudah putus asa dan tetap kuat dalam menjalani kehidupan, meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan.
Dengan memahami nilai-nilai universal ini, seorang jamaah akan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari setelah kembali dari tanah suci. Ibadah haji bukanlah hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan peluang untuk mendapatkan pembelajaran berharga tentang kehidupan. Semoga setiap jamaah yang menjalani ibadah haji dapat mengambil manfaat yang besar dari perjalanan spiritual ini dan menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat.
Penulis: Dr. Ahmad Fihri, MA (Dosen FAI-FEB UHAMKA, Wakil Ketua PDM Kota Depok Bidang Tabligh dan Haji Umroh)