79 Tahun Indonesia Merdeka, Demokrasi Kekuasaan dan Kemerdekaan Sejati

“Pemimpin yang dipilih rakyat melalui proses demokrasi yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justeru berubah menjadi monster demokrasi otoriter, menindas dan mengabaikan aspirasi rakyat. Hal ini menciptakan rasa ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem pemerintahan”.
DEPOKNETWORK.COM – Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus selalu menjadi momen penting untuk merenungkan makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa. Namun, di balik euforia perayaan kemerdekaan, sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah kemerdekaan ini benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, atau apakah kita masih berada dalam bayang-bayang kekuasaan yang mengekang.
Kemerdekaan sejati bukan hanya soal terbebas dari penjajahan fisik oleh bangsa lain, tetapi juga meliputi kebebasan dari segala bentuk penindasan, baik oleh kekuasaan pemerintah maupun kekuatan ekonomi yang dominan. Setelah 78 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Ketimpangan ekonomi, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi bukti bahwa bayang-bayang kekuasaan masih menggelayuti kehidupan masyarakat.
Kekuasaan sering kali menjadi alat bagi segelintir elit untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri, sementara sebagian besar rakyat masih terjebak dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk kemerdekaan belum benar-benar selesai. Kemerdekaan yang diinginkan oleh para pendiri bangsa adalah kemerdekaan yang memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi segelintir orang.
Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menjamin kebebasan bagi semua rakyatnya. Namun, kenyataannya, korupsi yang merajalela, penegakan hukum yang tebang pilih, serta tekanan terhadap kebebasan berekspresi, menunjukkan bahwa kita masih berada dalam bayang-bayang kekuasaan yang tidak jauh berbeda dari rezim otoriter.
Demokrasi Kekuasaan
Fenomena Pilkada 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak di sejumlah daerah termasuk di DKI Jakarta, telah memperlihatkan sisi gelap dari demokrasi yang seharusnya menjadi momen penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin di daerah mereka. Alih-alih menjadi ajang pemilihan yang adil dan transparan, Pilkada ini justru berubah menjadi arena politik yang diwarnai oleh praktik-praktik tidak etis, yang mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri, semua diseragamkan, partai diborong semua, calon harus yang dapat memenuhi sahwat kuasanya tanpa memperdulikan aspirasi rakyatnya.
Praktik culas yang mencolok lainya adalah upaya sistematis untuk “mengamputasi” calon-calon potensial yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Calon-calon yang berpotensi mengancam stabilitas dan dominasi kekuasaan atau yang mungkin mengganggu proses “bagi-bagi kue” kekuasaan antara elit politik, diharamkan untukdiusung oleh Partai politik dalam Gelaran Pilkada 2024. Sementara partai politik yang tidak mau mengikuti keinginan kekuasaan akan dibegal ditengah jalan, sebuah Upaya telanjang bulat kuasa pemimpin yang sedang menggiring dirinya ke tepi jurang.
Tangan-tangan kekuasaan menggunakan instrumen negara seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk melakukan teror dan intimidasi dengan memanfaatkan kasus hukum yang mungkin secara langsung ataupun tidak menyeret para elit partai politik. Akibatnya instrument negara yang seharusnya netral dan berfungsi untuk menjaga integritas demokrasi justru digunakan sebagai senjata politik untuk menekan partai atau individu yang berani menentang kekuasaan. Tekanan ini menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian, di mana partai-partai politik dipaksa untuk memilih antara loyalitas kepada penguasa atau menghadapi ancaman hukum yang dapat merusak karir politik mereka.
Fenomena ini menunjukkan betapa Pilkada telah berubah dari pesta demokrasi menjadi sebuah arena pertarungan kekuasaan yang penuh intrik dan manipulasi. Bagi rakyat, harapan untuk memilih pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka semakin memudar, digantikan oleh kekecewaan terhadap proses politik yang dirasakan semakin jauh dari idealisme demokrasi. Sementara itu, bagi penguasa, Pilkada 2024 lebih tampak sebagai sarana untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan, daripada untuk memperkuat partisipasi politik rakyat dalam demokrasi yang sehat.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi masyarakat dan elemen-elemen independen lainnya untuk terus mengawasi proses Pilkada, mengungkap praktik-praktik tidak etis, dan mendorong terwujudnya demokrasi yang lebih berkeadilan. Hanya dengan begitu, makna sejati dari Pilkada sebagai pesta demokrasi dapat dipulihkan, dan harapan rakyat untuk masa depan yang lebih baik dapat tercapai.
Kemerdekaan Sejati
Momen Hari Kemerdekaan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga merenungkan dan melanjutkan perjuangan para pahlawan kita. Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan yang dilakukan oleh rezim-rezim otoriter modern. Mari kita bersama-sama mewujudkan Indonesia yang benar-benar bebas dari bayang-bayang kekuasaan yang menindas, dan menjadikan negeri ini tempat di mana keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyatnya.
Peringatan Hari Kemerdekaan merupakan kesempatan yang sangat penting bagi seluruh bangsa Indonesia untuk merenungkan kembali makna sejati dari kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pahlawan. Namun, perayaan ini juga harus menjadi ajang introspeksi untuk menilai sejauh mana kemerdekaan tersebut telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Secara de jure, memang benar bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan asing selama lebih dari tujuh dekade. Namun, secara de facto, rakyat sering kali merasakan bahwa mereka justru dijajah oleh pemimpinnya sendiri.
Kenyataan pahit ini muncul karena kekuasaan yang seharusnya dipegang untuk kepentingan rakyat sering kali disalahgunakan oleh mereka yang diberi amanah. Partai politik yang mendapat mandat rakyat melalui pemilu tidak jarang tergoda oleh praktik-praktik kotor yang menjijikkan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kekuasaan yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat dan meningkatkan kesejahteraan mereka, justru tergadaikan oleh ambisi pribadi dan kepentingan golongan tertentu.
Pemimpin yang dipilih rakyat melalui proses demokrasi yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru berubah menjadi Monster Demokrasi otoriter, menindas, dan mengabaikan aspirasi rakyat. Di bawah bayang-bayang kekuasaan yang korup, berbagai kebijakan yang dikeluarkan lebih menguntungkan elit politik daripada masyarakat luas. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar, serta rasa ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem pemerintahan.
Peringatan Hari Kemerdekaan seharusnya tidak hanya menjadi ajang untuk merayakan kebebasan dari penjajah asing, tetapi juga menjadi momentum untuk mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan yang sejati belum selesai. Kemerdekaan yang sejati adalah ketika setiap warga negara dapat hidup dengan martabat, mendapatkan keadilan, dan merasa bahwa suara mereka didengar dan dihargai oleh pemimpin mereka.
Oleh karena itu, pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan, kita harus terus berjuang melawan penjajahan dalam bentuk apapun, termasuk penjajahan oleh pemimpin yang tidak amanah. Kita perlu memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan untuk menindas, tetapi untuk memajukan bangsa dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Hanya dengan demikian, makna sejati dari kemerdekaan dapat diwujudkan, dan bangsa ini dapat benar-benar bebas dalam segala aspek kehidupannya.
Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-79. Merdeka !
Penulis : Dr. Heri Solehudin Atmawidjaja (Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Wakil Ketua Forum Doktor Sosial Politik Universitas Indonesia, Direktur Heri Solehudin Center,Wakil Ketua PDM Kota Depok).