Tiga Pesan Mendikdasmen RI untuk Akreditasi yang Lebih Bermakna
PDM DEPOK Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BAN-PDM yang diselenggarakan di Bali, 7-9 Desember 2024.
Saya menyampaikan terima kasih atas kesempatan untuk saya bisa berbagi pikiran secara sederhana. Pikiran-pikiran yang serius saya kira nanti disampaikan oleh para pakarnya, Pak Ketua BAN-PDM itu pakar yang saya kira tidak kita ragukan keilmuannya dan juga banyak pakar dari anggota BAN-PDM, juga para tokoh lain yang saya kira punya keilmuan yang sangat tinggi dan sangat jauh di atas keilmuan saya.
Karena itu, walaupun nanti saya tidak bisa mengikuti secara keseluruhan, saya yakin akan diambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan kita memajukan pendidikan, melalui salah satunya adalah akreditasi. Saya akan menyampaikan tiga hal yang mudah-mudahan bisa menjadi sumbangan pikiran sederhana saya untuk akreditasi dan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia pada masa yang akan datang.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa visi dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) adalah pendidikan bermutu untuk semua. Visi ini kami ambil dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang sekarang ini masih berlaku, yang di dalamnya disebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Frasa di dalam undang-undang ini mengandung dua makna.
Yang pertama adalah education for all atau pendidikan untuk semua, di mana seluruh warga negara di manapun mereka berada, apa pun keadaan ekonominya, apa pun keadaan fisiknya, dan mungkin dalam situasi dan kondisi yang tertentu yang memungkinkan mereka untuk belajar, akses itu tetap harus kita buka seluas-luasnya, sehingga mereka mendapatkan hak konstitusional sebagai warga negara.
Pada aspek ini, tentu kami berusaha untuk memperluas jangkauan pendidikan, reaching out mereka yang memang selama ini belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Kami berusaha untuk memenuhi itu dengan mengembangkan paradigma tidak hanya paradigma schooling, tetapi juga paradigma learning. Paradigma learning ini memungkinkan untuk siapa pun, di manapun bisa belajar, walaupun mereka tidak harus belajar di lembaga pendidikan formal.
Kemudian yang kedua adalah layanan pendidikan yang mereka peroleh itu adalah layanan pendidikan yang bermutu, bukan layanan pendidikan yang “kaleng-kaleng”. Melainkan layanan pendidikan yang memang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Sehingga kalau kita kembali kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, maka kita berusaha untuk memberikan kepada masyarakat layanan pendidikan yang sesuai dengan standar. Yakni, layanan pendidikan yang memiliki ukuran-ukuran yang relatif objektif sebagai jaminan bahwa masyarakat mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan standar. Bahkan, mungkin secara ideal bisa kita katakan mereka mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Nah, yang ketiga, tentu untuk memastikan bahwa rakyat Indonesia, anak-anak Indonesia, itu mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Tentu diperlukan penilaian terhadap mutu pendidikan. Nah, kembali kepada berbagai hal sudah kita lakukan, penilaian itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal. Penilaian internal dilakukan oleh satuan pendidikan. Bahkan, juga oleh para pendidik terhadap capaian pembelajaran para murid yang belajar di satuan pendidikan tertentu.
Penilaian internal ini build in dengan semangat kita untuk melakukan berbagai upaya agar layanan pendidikan dan pembelajaran dapat meningkatkan tidak hanya kualitas pembelajaran, tapi juga kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Kemudian yang kedua adalah jaminan yang bersifat eksternal yang itu dilakukan salah satunya melalui akreditasi. Akreditasi itu memiliki makna penting bagi masyarakat sebagai sebuah pertanggungjawaban dari para penyelenggara pendidikan, baik masyarakat maupun pemerintah. Akreditasi juga dapat memberikan kepada masyarakat panduan bahwa satuan pendidikan, di mana putra-putri mereka belajar itu adalah satuan pendidikan yang bermutu, sesuai dengan tingkat akreditasi dari masing-masing satuan pendidikan itu.
Hal ini menurut saya memang ukuran-ukuran yang relatif bisa diterima oleh masyarakat dan pengakuan atas capaian pendidikan yang tidak hanya berfungsi sebagai bagian dari hal yang bersifat administratif belaka. Lebih dari itu, mekanisme akreditasi menjadi bagian dari sebuah jaminan bahwa proses-proses dan standar yang digariskan oleh undang-undang terlaksana dengan sebaik-baiknya di satuan pendidikan yang bersangkutan.
Inilah yang menjadi bagian penting mengapa akreditasi itu tetap harus kita lakukan dan akreditasi itu kita perkuat, tidak hanya sebagai proses, tetapi juga sebagai institusi yang memiliki fungsi-fungsi yang bersifat akademik, dan mungkin sebagiannya fungsi-fungsi yang bersifat politik.
Karena itu, akreditasi tentu harus semakin punya makna dan semakin punya dampak. Berdampak dalam pengambilan kebijakan dan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan serta akses-akses yang bisa dimiliki oleh peserta didik ketika mereka belajar di satuan pendidikan yang terakreditasi. Sekian lama kita berjuang sebagai upaya untuk pengakuan itu bagaimana agar akreditasi semakin bisa diterima oleh masyarakat.
Pengalaman saya ketika dulu pernah menjadi ketua BAN S/M. Waktu itu di bawah koordinasi Pak Totok sebagai Kabalitbang. Ketua BAN ini kan di bawah Balitbang. Kami berusaha agar akreditasi dapat diakui sebagai, misalnya, kebijakan yang berkaitan dengan mutasi antar peserta didik. Kemudian menjadi ukuran ketika penerimaan di perguruan tinggi. Juga menjadi pertimbangan ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di sektor-sektor yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan mungkin juga sesuai dengan keahliannya.
Kita berusaha bagaimana agar selembar sertifikat akreditasi tidak hanya menjadi pajangan di tembok-tembok sekolah, tetapi menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Sehingga dengan fungsi-fungsi itu, maka kita juga sudah mulai dalam kaitan dengan dampak dari apresiasi terhadap, misalnya, PPDB yang sekarang sedang menjadi kajian kita. Beberapa daerah, misalnya, menggunakan akreditasi sebagai pertimbangan untuk penerimaan peserta didik baru dan pertimbangan untuk penerimaan dengan jalur prestasi dan sebagainya.
Hal ini tentu bukan sesuatu yang mudah karena belum semua pihak juga menganggap penting akreditasi itu. Karena itu, berbagai kebijakan yang punya dampak politik memang akan kami lakukan di Kemendikdasmen agar akreditasi ini semakin kuat eksistensinya. Sekali lagi tidak hanya sebagai proses penilaian, tapi juga sebagai dasar dalam pengambilan berbagai kebijakan di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.
Dalam kaitan ini, maka penguatan Badan Akreditasi akan terus kita upayakan. Dan tentu saja. objektivitas hasil-hasil akreditasi juga perlu untuk terus ditingkatkan. Sehingga sekali lagi, akreditasi tidak sekadar menjadi proses-proses administratif belaka, tetapi menjadi bagian dari proses penting memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa penyelenggaraan pendidikan yang diberikan oleh satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta adalah layanan pendidikan yang berkualitas, layanan pendidikan yang bermutu.
Bagaimana kita memperkuat akreditasi, tentu bapak/ibu sekalian memiliki pengalaman. Tetapi prinsip yang ingin kami bangun sekali lagi adalah agar akreditasi baik sebagai proses maupun hasilnya dapat terus kita perkuat pada masa-masa yang akan dating. Saya kira demikian yang dapat kami sampaikan, Mas Nino, Pak Totok, dan seluruh peserta, mudah-mudahan semua proses Rakornas berjalan dengan baik. Semoga pada masa-masa yang akan datang kita bisa terus bekerja sama untuk meningkatkan mutu pendidikan, memenuhi hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu. Saya kira demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.
*Sambutan secara daring Mendikdasmen RI Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dalam Pembukaan Rakornas BAN-PDM, di Bali, 7 Desember 2024.