Mustadafin yang Terlupakan sebagai Gugatan untuk Muhammadiyah di Milad ke-112

PDM DEPOK – Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin*
Pada usia yang mencapai 112 tahun, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam besar di Indonesia terus berupaya menghadirkan nilai-nilai kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, perayaan ini menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan kembali, apakah semangat “Indonesia Berkemajuan” benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang kerap disebut sebagai “mustadafin.” Dalam ilmu psikologi, kelompok mustadafin dapat dipahami sebagai mereka yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, atau psikologis. Pengabaian terhadap mereka adalah isu serius, dan ironisnya, kita sendiri—baik secara individu maupun institusi—bisa jadi turut serta dalam menciptakan ketimpangan ini.
Mustadafin dalam Kacamata Psikologi
Secara psikologis, mustadafin bukan hanya sekadar orang yang secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah kelompok yang terjebak dalam situasi ketidakberdayaan sistemik yang menghambat potensi dan harga diri mereka. Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, individu atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti keamanan, afiliasi, dan aktualisasi diri, akan mengalami ketidakpuasan psikologis yang mendalam. Ketika orang tidak dapat mencapai rasa aman dan penerimaan sosial, maka kepercayaan diri mereka terkikis. Ini kemudian menciptakan lingkaran setan di mana mereka tidak lagi memiliki energi atau motivasi untuk memperbaiki keadaan.
Dari perspektif ini, mustadafin adalah mereka yang terhalang dalam mencapai kepenuhan hidup, baik karena faktor struktural (seperti kemiskinan atau ketidaksetaraan pendidikan) maupun karena stigma sosial yang membuat mereka merasa tak pantas atau tak diakui dalam masyarakat. Pengabaian ini tidak hanya melemahkan kemampuan individu untuk berkembang, tetapi juga berpotensi memengaruhi kesehatan mental mereka. Tekanan dan stigma yang mereka alami menimbulkan kecemasan, depresi, dan perasaan rendah diri, yang kemudian memperburuk kondisi mereka dan membuat mereka semakin terpinggirkan.
Siapa Saja Mustadafin Menurut Psikologi?
Psikologi sosial mengidentifikasi mustadafin sebagai individu atau kelompok yang dianggap memiliki status lebih rendah dalam masyarakat. Mereka bisa berupa kaum miskin, anak-anak jalanan, perempuan kepala keluarga, difabel, dan bahkan kelompok minoritas yang rentan terhadap diskriminasi. Di dalam lingkungan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, yang memiliki posisi kuat dalam memajukan masyarakat, tidak jarang kelompok ini masih sering terabaikan. Mereka mungkin berada di lingkungan kita, tetapi terlupakan atau dianggap tidak relevan dalam lingkaran pengaruh dan pengambilan keputusan.
Selain itu, dalam ilmu psikologi, konsep “dehumanisasi” menjelaskan bagaimana kita cenderung menilai rendah kelompok yang berbeda dari kita. Dehumanisasi ini menyebabkan kita, baik secara sadar atau tidak, mengabaikan hak dan kepentingan mustadafin. Ketika mereka tak memiliki peran atau representasi dalam organisasi, baik dalam keputusan maupun dalam tindakan nyata, mereka semakin teralienasi. Ini adalah masalah mendasar yang perlu mendapat perhatian serius, terlebih pada momen refleksi Milad Muhammadiyah yang ke-112.
Tantangan dalam Tubuh Muhammadiyah
Secara institusional, Muhammadiyah memiliki prinsip kuat untuk memberdayakan masyarakat dan menegakkan keadilan sosial. Namun, kita perlu bertanya secara kritis: apakah implementasi ini benar-benar mencakup mustadafin? Sering kali, tanpa disadari, kita menjadi bagian dari mekanisme yang justru memarjinalkan kelompok-kelompok ini. Muhammadiyah yang dikenal dengan gerakan filantropi dan pendidikan besar, mungkin saja menghadapi risiko mengabaikan kelompok mustadafin apabila mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau dalam penerapan program-program penting.
Sebagai contoh, dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah, apakah sudah ada upaya sistematis untuk mengakomodasi anak-anak dari kalangan mustadafin? Atau dalam ranah kesehatan, apakah program kesehatan bagi masyarakat benar-benar bisa diakses oleh mereka yang tidak memiliki akses informasi? Kita sering kali berfokus pada angka dan capaian statistik, namun bagaimana dengan kualitas interaksi dan perasaan keterlibatan mereka yang menerima manfaat? Dalam psikologi, aspek partisipasi dan rasa memiliki adalah hal esensial yang dapat mendorong individu untuk berkembang.
Menuju Muhammadiyah yang Lebih Inklusif
Momentum Milad ke-112 Muhammadiyah ini seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan komitmen kita terhadap kelompok mustadafin. Dari perspektif psikologi, inklusivitas bisa dicapai dengan mendengarkan dan melibatkan kelompok ini secara langsung. Hal ini meliputi penyediaan ruang bagi mereka untuk menyampaikan suara dan perasaan, bukan hanya sekadar menerima bantuan.
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari pendekatan psikologi komunitas yang menekankan pentingnya dukungan sosial dan kesempatan partisipasi. Alih-alih menjadikan mustadafin sebagai penerima pasif, Muhammadiyah dapat memberikan mereka kesempatan untuk berkontribusi dalam kapasitas yang mereka miliki. Misalnya, melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan mengenai program-program yang akan dijalankan. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa sebagai objek belas kasihan, tetapi sebagai subjek yang berharga dalam masyarakat.
Melampaui narasi “Indonesia Berkemajuan”
Muhammadiyah harus melihat “Indonesia Berkemajuan” sebagai suatu konsep yang tidak hanya mengedepankan kemajuan fisik atau ekonomi, tetapi juga kemajuan psikologis dan sosial bagi seluruh anggota masyarakat. Sebagai organisasi yang berlandaskan nilai-nilai Islam, penting bagi Muhammadiyah untuk mengedepankan keadilan sosial yang holistik. Perubahan ini tentu tidak mudah dan membutuhkan kesadaran kolektif, terutama dalam memeriksa apakah kita secara individu dan organisasi telah mengabaikan kelompok mustadafin.
Momen Milad ini harus dimaknai sebagai refleksi terhadap tindakan-tindakan yang masih belum inklusif. Refleksi ini juga sejalan dengan ajaran K.H. Ahmad Dahlan yang selalu menekankan pada perlunya tindakan nyata untuk mendukung mereka yang terpinggirkan. Hanya dengan demikian, Muhammadiyah bisa benar-benar mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bukan hanya dalam narasi, tetapi dalam realitas yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
* Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan