Muhammadiyah Menolak Matinya Kepakaran
PDM DEPOK – Oleh Haris Ilham*
Secangkir kopi di pagi hari kini telah mendapati teman baru. Masyarakat kini menggantikan koran dengan smartphone untuk mendapatkan informasi. Bukan di situs-situs informasi yang kredibel, melainkan melalui sosial media.
Di era digital yang kian maju ini, informasi dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja. Namun, kemudahan ini membawa dampak negatif berupa kemunculan informasi yang tidak akurat dan penyebaran hoaks yang dapat mengaburkan antara fakta dan opini.
Dalam konteks inilah, kepakaran—yang dulu dipandang sebagai tolak ukur keabsahan pengetahuan dan informasi—mengalami tantangan besar. Fenomena inilah yang oleh Tom Nichols (2017) disebut sebagai “matinya kepakaran”, bahwa kepercayaan publik kepada pakar kian menurun di tengah gelombang informasi yang besar dan instan.
Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, haruslah mengupayakan penolakan terhadap tren ini. Bukan berarti warga persyarikatan harus kembali kepada koran cetak di pagi hari, melainkan turut memperhatikan dan bertindak atas fenomena ini.
Matinya Kepakaran
Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise menyoroti fenomena di mana kepakaran yang dulu dihormati dan ditaati kini mengalami erosi. Hari ini, setiap orang bisa dengan mudah menyampaikan pendapat, dan orang lain bisa menerimanya seakan pendapat itu adalah fakta.
Seorang jurnalis senior, Bre Redana pada tahun 2019 pernah memberikan gambaran sederhana tentang matinya kepakaran.
“Sekarang, kalau di stadiun ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya,”
Fenomena semacam itu yang disebut sebagai matinya kepakaran. Masyarakat cenderung menjadi skeptis terhadap pakar dan lebih cenderung mempercayai sumber informasi yang tidak kredibel.
Tentu peran dari juru strategi di tim sepakbola akan tetap ada. Tidak sembarang orang akan mengisi posisi tersebut. Begitu juga dengan dokter maupun pengacara, masyarakat akan tetap membutuhkan kepakaran mereka dalam masing-masing bidang. Namun, karena melimpahnya informasi, masyarakat bisa merasa sanggup menjadi dokter bagi diri sendiri atau merasa ahli dalam memutusi hukum tertentu.
Apalagi format penyampaian informasi yang digunakan di media hari ini adalah berupa konten video singkat atau foto dengan informasi yang ringkas. Tentu format konten seperti itu tidak layak dijadikan rujukan utama suatu informasi.
Fenomena ini merupakan ancaman serius terhadap kemajuan bangsa, karena hilangnya rasa percaya pada pakar dapat berujung pada disinformasi dan polarisasi dalam masyarakat.
Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, pada Fachrodin Award tahun 2023 lalu sempat menyampaikan betapa pentingnya literasi digital yang dibutuhkan untuk mejawab era yang ia sebut sebagai era literasi digital. Merujuk informasi pada seorang pakar adalah langkah awal dalam membangun masyarakat ilmu.
Mencari Pakar di Muhammadiyah
Muhammadiyah telah teruji selama 112 tahun berdirinya, berkontribusi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui agenda gerakan ilmu, Muhammadiyah sampai hari ini telah melahirkan banyak intelektual dan cendekiawan yang mumpuni di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan bidang lainnya.
Para pakar di Muhammadiyah juga mendapat tempat istimewa di ruang publik. Seperti misalnya dua dari lima ilmuwan yang mendapatkan Habibie Prize 2024 oleh BRIN pada tanggal 11 November lalu merupakan warga persyarikatan. Prof. M. Amin Abdullah yang mendapatkan penghargaan di bidang Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan merupakan Dewan Pakar MPKSDI PP Muhammadiyah, sedangkan Prof. Brian Yuliarto yang mendapatkan penghargaan di bidang Ilmu Rekayasa merupakan Ketua LKKS PW Muhammadiyah Jawa Barat. Keduanya punya kontribusi yang besar bagi bidangnya masing-masing.
Ada banyak orang yang bisa dijadikan rujukan dalam mencari informasi yang kredibel. Para pakar yang disebutkan di atas tentu memiliki bisa dijadikan rujukan. Tentu ada banyak nama lain yang bisa dirujuk sesuai dengan kepakarannya masing-masing.
Sebutlah bila merujuk persoalan integrasi saintek dan Islam kepada Prof. Agus Purwanto, Guru Besar Fisika Teori ITS. Bila kita membutuhkan jawaban dari persoalan gender, Prof. Alimatul Qitbiyah selaku Guru Besar Ilmu Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga. Keduanya juga merupakan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Warga persyarikatan juga bisa memanfaatkan inovasi-inovasi yang diciptakan oleh kader Muhammadiyah. Misalnya, membaca-baca hasil analisis yang dirilis oleh Drone Emprit—sistem yang memonitor serta menganalisis media sosial dan platform online berbasis big data. Sistem yang dibuat oleh Wakil Ketua MPID PP Muhammadiyah, Ismail Fahmi ini bisa menyajikan bagaimana sebuah hoaks berasal, menyebar, bahkan akun-akunnya secara detail.
Tentu Muhammadiyah memiliki banyak sumber daya insani yang unggul di bidang lainnya, Prof. Syamsul Anwar di bidang Hukum Islam, Prof. A. Munir Mulkhan di bidang Filsafat Islam, Prof. Haedar Nashir dan Prof. Abdul Mu’ti sebagai begawan moderasi, bahkan di bidang kepenulisan, warga persyarikatan seperti Iqbal Aji Daryono atau Mahfud Ikhwan tentu sangat bisa untuk dijadikan sumber rujukan.
Muhammadiyah yang begitu rapi dalam tata kelola organisasi harusnya juga menjadi kelebihan tersendiri sebagai sumber informasi. Adanya sistem tanfidz untuk keputusan-keputusan penting Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, pembukuan berbagai pemikiran di Majelis, Lembaga, dan Universitas merupakan kelebihan yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh warga persyarikatan. Maka, harusnya tidaklah sulit untuk mencari pakar di Muhammadiyah dan menjadikan Muhammadiyah itu sendiri sebagai rujukan laku kita sehari-hari.
Menjadi Pakar di Muhammadiyah
Pada Seminar Pra Mukatamar ke-48 di UAD, Prof. Muchlas memaparkan bahwa di era matinya kepakaran, kebenaran tidak diukur dari substransinya melainkan diukur dari seberapa banyak opini tersebut disukai masyarakat. Untuk menolak matinya kepakaran, selain Muhammadiyah harus mempersiapkan generasi yang mampu menjadi pakar di bidangnya masing-masing, di saat yang bersamaan Muhammadiyah juga harus mampu memiliki intelektual publik, atau meminjam pernyataan Prof. Muchlas: intelektual yang mampu mendesiminasi keilmuannya.
Warga persyarikatan haruslah menjadi pakar, melalui belajar, melalui proses pendidikan. Menyadur dari muhammadiyah.or.id, menurut Prof. Abdul Mu’ti, era matinya kepakaran ini menyebabkan belajar dan berilmu tidak lagi penting karena kebutuhan akan informasi apapun mudah didapatkan melalui gawai, lebih-lebih didukung oleh Artificial Intelligent.
Karena itu, penting dalam mewujudkan hidupnya kepakaran di persyarikatan di era digital, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, warga persyarikatan haruslah menguasai teknologi informasi. Penguasaan atas teknologi informasi yang baik memerlukan literasi digital yang baik, terutama jika berkenaan dengan media digital. Media digital tidaklah lebih dari sekedar media jika tidak dimodali dengan literasi digital penggunanya.
Kedua, warga persyarikatan haruslah giat menuntut ilmu dan berpegang pada prinsip keilmuan. Semua pakar yang disebutkan di atas adalah orang-orang yang telah melalui proses menuntut ilmu yang ketat. Proses tersebut termasuk dengan memegang teguh prinsip keilmuan, tidak mudah tegocek oleh tipu daya hoaks, postingan homeless media, atau bahkan giringan buzzer.
Kedua hal diatas sama-sama memerlukan keterampilan literasi digital. Keterampilan tersebut harus menjadi salah satu keterampilan yang diterapkan sejak dini di lingkungan pendidikan Muhammadiyah agar para warganya tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga kelak menjadi produsen pengetahuan yang bertanggung jawab.
*Penulis adalah Warga Persyarikatan, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.