Muhammadiyah dan Teologi Pembebasan
PDM DEPOK – Oleh: Nur Fajri Romadhon*
Teologi Pembebasan merupakan terjemahan dari istilah Teologia de la Liberacion/The Theology of Liberation/Liberation Theology. Istilah ini dipopulerkan tahun 1960-an pada mulanya oleh seorang pendeta Katolik asal Brazil bernama Gustavo Gutierrez dalam buku beliau yang berjudul asli “Teologia de la Liberacion”. Dalam buku ini, Gustavo Gutierrez menyebutkan bahwa fungsi klasik dari Teologi (istilah Islamnya: akidah) -setidaknya dalam agama yang beliau anut- ialah sebatas sebuah kebijaksanaan (theology as wisdom) dan pengetahuan rasional (theology as rational knowledge)[1]. Kemudian beliau setelah melakukan refleksi kritis mengajukan fungsi ketiga dari teologi, yaitu menjadikan keyakinan agama (istilah Islamnya: akidah/kalam[2]) sebagai ideologi gerakan membebaskan kaum lemah dari ketertindasan[3]. Kaum lemah di sini lebih ditekankan lagi mereka yang termiskinkan secara sistemik[4]. Lantas maraklah pengajaran konsep Teologi Pembebasan ini terutama di seminari-seminari dan gereja-gereja Amerika Selatan, sebelum kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain, bahkan termasuk terkenal istilah Teologi Pembebasan ini di agama-agama lain[5]. Prof. Azyumardi Azra menulis: “Wacana dan pemikiran teologi pembebasan Islam pernah menemukan momentumnya, termasuk di Indonesia, pada sejak akhir dasawarsa 1980-an sampai 1990an.”[6]
Sebetulnya tanpa perlu istilah Teologi Pembebasan, teologi Islam sendiri sudah mengandung dimensi pembebasan. Jadi penggunaan istilah Teologi Pembebasan dalam diskursus keislaman sifatnya hanyalah penegasan dan penyesuaian dengan istilah yang populer di dunia. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang langsung menghubungkan antara teologi (akidah) dengan bahasan-bahasan “pembebasan”, misalnya firman Allah swt dalam surat Al-Ma’un: “Tahukah engkau, siapakah orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menolakkan anak yatim. Dan tidak mengajak atas memberi makan orang miskin.” [QS. Al-Ma’un (107): 1-3][7] Prof. Buya Hamka menafsirkan: “Orang seperti ini pun seperti ini pun termasuk yang mendustakan agama. Karena dia mengaku menyembah Allah, padahal hamba Allah tidak diberinya pertolongan dan tidak dipedulikannya.”[8] Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy menimpali: “Firman Allah ini memberikan pengertian bahwa apabila kita tidak mampu sendirian menolong kepada orang miskin, maka wajiblah kita mencari pertolongan kepada orang lain yang mampu, dan menggerakkan masyarakat untuk mencari pertolongan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial yang menyantuni fakir miskin dan anak yatim.”[9]
Ayat lain yang tidak kalah eksplisitnya tentang Teologi Pembebasan ialah ayat yang cukup terkenal dan banyak dipelajari pelajar sekolah, yaitu firman Allah swt: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Baqarah (2): 177]
Begitu pula kita jumpai banyak sabda Nabi Muhammad saw yang secara eksplisit mengaitkan antara teologi (akidah) dengan topik “pembebasan”, seperti sabda beliau: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya.” [HR. Al-Bukhari & Muslim]. Muhammadiyah menguraikan hadis ini dengan menyatakan: “Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormata, baik dengan sesama Muslim maupun dengan non-Muslim. … menjenguk bila tetangga sakit, mengasihi tetangga sebagaimana mengasihi keluarga/diri sendiri. Peduli kepada orang miskin dan yatim, tidak mengambil hak orang lain, berlomba dalam kebaikan, dan hubungan-hubungan sosial lainnya yang bersifat islah menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”[10]
Literatur-literatur teologi (akidah) yang ditulis para ulama pun secara tegas menyebutkan bahasan terkait pembebasan. Dalam sebuah buku akidah ringkas namun populer[11], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menuliskan: “Mereka (yakni Ahlussunnah wal Jama’ah[12]) memerintahkan untuk berbakti pada orang tua, menyambung silaturahmi, menghormati tetangga, berbuat baik kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlunta dalam perjalanan, serta bersikap lembut kepada hamba sahaya. Mereka juga melarang dari bersikap pongah, sombong, zalim, dan berlaku sewenang kepada masyarakat.”[13] Sebelumnya pun beliau telah menegaskan: “Agama dan iman itu terdiri dari ucapan dan amal perbuatan.”[14] Jadi tidak cukup teologi Islam itu bila sekadar keyakinan hati/pikiran dan pengakuan lisan. Harus dibuktikan dengan tindakan nyata, termasuk amal sosial, bahkan bila perlu -seperti ditegaskan Prof. Buya Hamka- ialah melakukan nahi munkar secara elegan terhadap kezaliman, sekalipun dilakukan oleh penguasa[15] atau bahkan ketika levelnya sudah -meminjam istilahnya Prof. Zakiyuddin Baidhawy- berupa Qarun, Firaun, Haman, dan Samiri Global[16]. Termasuk pula menyelamatkan manusia dari penjajahan, misalnya seperti yang hingga kini terjadi di Palestina[17].
Tepatlah kiranya Prof. Azyumardi Azra kala mengatakan: “Secara doktrinal, Islam adalah agama pembebasan. Dalam akidah, orang menjadi mukmin dan Muslim ketika membebaskan dirinya dari cengkeraman kekuatan tertentu yang diperlakukan seperti Tuhan. Kalimat syahadat pertama, sejak awalnya menyatakan ‘Tidak ada Tuhan (atau Tuhan-Tuhan)’ yang segera disambung dalam satu nafas ‘kecuali Allah swt’. Dengan begitu dia menjadi bebas; mengikatkan diri hanya kepada Allah.”[18] K.H. Dr. Hamim Ilyas juga nyatakan: “Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam juga merupakan agama yang peduli kepada nasib manusia.”[19]
Malahan Gustavo Gutierrez sendiri mengakui bahwa Liberation Theology yang beliau gagas sesungguhnya terinspirasi pula dengan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955[20]. Artinya, kira-kira lima tahun setelah KAA, suatu konferensi internasional nan bersejarah di mana hampir semua pesertanya merupakan perwakilan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, barulah Gustavo Gutierrez merintis gerakan Teologi Pembebasannya. Kita berarti dapat memperkirakan adanya pengaruh kaum muslimin terhadap gagasan Teologi Pembebasan beliau.
Sekalipun secara substansi, sebagaimana telah dipaparkan tadi, Teologi Pembebasan telah mengakar dan memiliki rumusan jelas dalam kajian keislaman sejak zaman para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw, lalu di masa para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in serta para ulama/pendakwah lintas sejarah[21], tokoh muslim yang mula-mula vokal dengan istilah Teologi Pembebasan adalah Asghar Ali Engineer asal India pada tahun 1989 dengan buku beliau: “Religion and Liberation”. Meski terhitung populer, namun masih ada sejumlah poin yang bisa dikritik dari gagasan Teologi Pembebasan ala Islam yang digaungkan Asghar Ali Engineer. Utamanya ialah karena paparan beliau tidak mengandung bangunan teologi yang disusun secara sistemik nan bisa mengcover teologi pembebasan secara universal. Diduga hal ini terjadi karena latar belakang pendidikan keislaman Engineer tidak melalui jalur formal sebagaimana intelektual-intelektual lainnya[22].
Kekurangan inilah yang sebetulnya menjadi peluang berfastabiqul khairat bagi Muhammadiyah yang insyaallah lebih matang gerakannya, lebih lengkap sumber dayanya, serta lebih dalam kajian keislamannya. Muhammadiyah telah melakukan gerakan teologi pembebasan semenjak awal KH. Ahmad Dahlan menggagasnya. Teologi pembebasan yang dipakai Muhammadiyah sering disebut dengan Teologi Al-Ma’un[23]. Secara praktek, Teologi Al-Ma’un sudah beramal nyata lebih dari seabad sejak berdirinya Muhammadiyah pada 1912 dalam bentuk berbagai rumah sakit/klinik dengan biaya terjangkau, panti asuhan, hingga MDMC dan Lazismu. Secara teori, para tokoh Muhammadiyah juga sigap mengelaborasikannya dalam tulisan serius, misalnya Buya Hamka dalam buku “Keadilan Sosial dalam Islam”, Prof. Azyumardi Azra dalam buku “Gerakan Pembebasan Islam”, dan Prof. Zakiyyuddin Baidhawy dalam buku “Teologi Neo Al-Ma’un”.
Dari uraian ketiga tokoh Muhammadiyah ini, juga dari dokumen dan tulisan Kemuhammadiyahan lainnya, penulis dapat menyimpulkan empat dimensi yang menjadi garis besar Teologi Al-Ma’un sebagai Teologi Pembebasan:
- Syakhshiyyah (pribadi) Muslim -terlebih warga Muhammadiyah- yang paripurna dalam teologi/akidahnya dengan tidak cukup berupa keyakinan hati/pikiran ataupun pengakuan lisan semata, namun harus pula berkenyataan menjadi amal perbuatan konkrit yang tak sebatas ritual namun juga sosial, tidak semata berbuat kebajikan, namun juga giat beramar ma’ruf nahi munkar lagi menjaga diri dari dosa, termasuk korupsi.
- Usrah (keluarga) nan sakinah yang berkarakter sederhana, rasional, bermoral, serta peduli lingkungan, jauh dari konsumtivisme apalagi hedonisme.
- Qaryah (masyarakat) Islam yang sebenar-benarnya, sebagai civil society nan piawai dalam filantropi, mahir berperan sebagai advokator bagi mustadh’afin/kaum tertindas dan dhu’afa/kaum lemah, sehat dalam bisnis, cerah dalam intelektual, serta jauh dari degradasi moral.
- Baldah (negara) yang thayyibah/baik, dengan aktif dalam pengelolaan sumber daya demi kemanfaatan bersama, serius dalam redistribusi kekayaan, tegas dalam penegakan regulasi.
Ini semua tentu awalnya terinspirasi dari K.H. Ahmad Dahlan, sang pendiri gerakan Muhammadiyah, yang kira-kira tahun 1905 pernah mengajarkan tafsir Al-Qur’an secara rutin setiap Subuh. Kemungkinan besar pengajian ini dimulai dari surat Al-Fatihah, lalu surat An-Nas, kemudian Al-Falaq, dan seterusnya dari surat-surat pendek di Juz ‘Amma dengan urutan dari belakang ke depan. Suatu ketika, kala sudah sampai surat Al-Ma’un -yang penggalan awal surat ini sudah disebutkan tadi-, K.H. Ahmad Dahlan mengulang-ulang pengkajian tafsir surat ini selama berhari-hari[24]. Salah satu murid setia beliau, Muhammad Sudja’, bertanya, mengapa bahan pengajian tidak ditambah namun hanya berkutat mengulang-ulangi surat Al-Ma’un.
K.H. Ahmad Dahlan lantas balik bertanya kepada para muridnya, sudahkah mereka mengerti makna surat ini. Semua murid serentak menjawab bahwa mereka bukan hanya sudah mengerti tapi juga sudah hafal. K.H. Ahmad Dahlan bertanya lagi, sudahkah ayat-ayat yang dihafal tadi itu diamalkan? Para murid lalu merespon: “Apanya yang diamalkan, Kyai? Bukankah surat Al-Ma’un sudah seringkali dibaca saat menjalankan salat?” K.H. Ahmad Dahlan menjawab bahwa bukan itu yang ia maksudkan, tapi apa yang sudah dipahami itu haruslah dipraktekkan dan dikerjakan. Karena itu K.H. Ahmad Dahlan lantas memerintahkan para muridnya untuk mencari orang miskin di sekitar tempat tinggalnya masing-masing. Jika mereka menemukan orang miskin dan anak yatim agar dibawa pulang ke rumahnya masing-masing, dimandikan dengan sabun dan sikat gigi yang baik dan diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai, diberi makan dan minum serta tempat tidur yang layak[25].
Kelak, pada tahun 1912 ketika Muhammadiyah resmi didirikan, KH. Muhammad Sudja’ inilah yang malahan dalam pidato pertama ketika baru dilantik menjadi ketua Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem menyatakan di hadapan K.H. Ahmad Dahlan dan tokoh serta warga Muhammadiyah bahwa beliau akan membangun hospital, armhuis (rumah miskin), dan weshuis (rumah yatim). Mendengar itu, banyak warga Muhammadiyah yang sontak tertawa karena seolah menganggap itu mimpi yang terlalu tinggi. K.H. Ahmad Dahlan sendiri tetap tenang mendengar itu bahkan memberi isyarat supaya sidang tenang.
K.H. Muhammad Sudja’ lantas berpidato: “Dalam Al-Qur’an dapat kita lihat masih tercantum Surat Al-Ma’un dengan ayat dan lengkap tidak sehuruf pun yang kurang sekalipun berubah, arti dan maknanya pun tetap sejak turun diwahyukan oleh Allah sampai kini tetap juga. Meskipun kitab suci Al-Qur’an sudah berabad-abad dan surat Al-Ma’un menjadi bacaan sehari-hari dalam sembahyang oleh umat Islam Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya, namun sampai kini belum ada seorang dari umat Islam yang mengambil perhatian akan intisarinya yang sangat penting itu untuk diamalkan dalam masyarakat. Banyak orang-orang di luar Islam yang sudah berbuat untuk menyelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak Yatim yang terlantar dengan cara sebaik-baiknya hanya karena terdorong dari rasa kemanusiaan saja, tidak karena merasa bertanggung jawab dalam masyarakat dan tanggung jawab di sisi Allah kelak di hari kemudian. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia.”[26] Fastabiqul khairat.
*Wakil Ketua Majelis Tarjih & Tajdid PWM DK Jakarta dan Ketua Majelis Tarjiht & Tajdid PDM Kota Depok
Referensi
[1] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation [Teologia de la Liberacion], diterjemahkan oleh Sister Carida Inda dan John Eagleson, (New York: Orbis Books, 1988), hlm. 3-4.
[2] Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology, (New York: Routledge, 2008), hlm. 254.
[3] A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation hlm. 9-10.
[4] Leonardo Boff & Clodovis Boff, Introducing Liberation Theology, (New York: Orbis Books, 1989), hlm. 22-23.
[5] Christopher Rowland, The Cambridge Companion to Liberation Theology, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hlm. xiii.
[6] Azyumardi Azra, Gerakan Pembebasan Islam, (Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 48.
[7] Terjemahan ini diambil dari Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), jld. IX hlm. 672.
[8] Tafsir Al-Azhar, jld. IX hlm. 673.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2016), jld. IV hlm. 608.
[10] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016), hlm. 69-72.
[11] Kitab berukuran saku ini diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1987 (penerbit Bina Ilmu Surabaya) oleh K.H. Bey Arifin, salah satu ulama besar Muhammadiyah yang juga pernah mengetuai MUI Jawa Timur. Kitab ini juga dijadikan salah satu referensi/acuan dalam jenjang perkaderan Darul Arqam Tingkat Pusat untuk materi pokok Hakikat Islam: Peran Tauhid dalam Kehidupan [Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Pelaksanaan Perkadaeran Muhammadiyah, (Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2017), hlm. 165]. Asghar Ali Engineer juga menjadikan Ibnu Taimiyyah sebagai tokoh rujukan dalam Teologi Pembebasan [Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 69].
[12] Muhammadiyah juga termasuk dalam keluarga besar Ahlussunnah wal Jama’ah [Majelis Tarjih & Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. I hlm. 8].
[13] Ibnu Taimiyyah, Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, (Kairo: Darussalam, 2009), hlm. 113-114.
[14] Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hlm. 87.
[15] Hamka, Islam dan Keadilan Sosial, (Depok: Gema Insani, 2017), hlm. 9.
[16] Zakiyyudin Baidhawy, Teologi Neo Al-Ma’un, (Yogyakarta: Civil Islamic Institute, 2009), hlm. 23.
[17] Arzu Merali & Javad Sharbaf, Towards A New Liberation Theology: Reflections on Palestine, (Wembley: Islamic Human Rights Commission, 2009), hlm. 88.
[18] Gerakan Pembebasan Islam, hlm. v.
[19] Hamim Ilyas, Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, (Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2018), hlm. 240.
[20] The Cambridge Companion to Liberation Theology, hlm. 21.
[21] Shabbir Akhtar, The Final Imperative: An Islamic Theology of Liberation, (London: Bellew Publishing, 1991), hlm. 96.
[22] Muhaemin Latif, Teologi Pembebasan dalam Islam, (Tangerang: Orbit Publishing, 2017), hlm. 235-236.
[23] Bimba Valid Fathony, “Ajaran Ahimsa dan Spirit Teologi Pembebasan di Muhammadiyah,” Jurnal Widya Aksara 28, No. 1 (2023), hlm. 81.
[24] Demikian penulis mendapatinya dalam literatur. Menurut penulis ini lebih layak daripada kalau pengajiannya sampai berbulan-bulan. Wallahu a’lam.
[25] Abdul Munir Mulkhan, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), hlm. 193-194.
[26] Muhammad Sudja’, Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018), hlm. 149-153.