Integritas: Substansi Puasa Ramadhan dan Idul Fitri

PDM DEPOK – Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, Akt, M.A*
Definisi Idul Fitri dan Syawal
Syawal dalam bahwa Arab berasal dari kata syala-yasyalu yang bermakna meningkat, mengangkat, memungut, dan mengangkut. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan yang diperbandingkan antara sebelum masuk Ramadhan dan setelahnya. Bukan diperbandingkan dengan Ramadhan itu sendiri. Maksudnya adalah, ketika seseorang telah dididik oleh Ramadhan yang juga disebut sebagai bulan pendidikan, maka pasca Ramadhan haruslah ada perbedaan.
Jika sebelumnya tak pernah tahajjud, maka pasca Ramadhan dimulai segera tahajjud meskipun hanya sanggup witir saja. Jika sebelumnya tidak pernah puasa sunnah, maka pasca puasa satu bulan penuh maka upayakan memulai puasa sunnah. Itulah mengapa pada saat Syawal terdapat tuntunan untuk berpuasa yang dinamakan puasa Syawal selama enam hari. Perbedaan dalam bentuk peningkatan pasca dididik melalui Ramadhan adalah keharusnya.
Sedangkan kata Ied dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘Ada-ya’udu yang bermakna al-mausim. Al-mausim dalam bahasa Indonesia memiliki arti musim atau sesuatu yang berulang. Ketika bagi umat Islam memiliki dua Ied dalam satu tahun (Idul Fitri dan Idul Adha), maka keduanya adalah peristiwa yang selalu berulang dalam setiap tahunnya. Baik pada tahun yang lalu, tahun ini, hingga tahun mendatang. Sedangkan kata al-Fithr berasal dari kata fathara-yaftharu yang bermakna menciptakan atau membuat.
Ketika menjadi fithrun bermakna dengan buka puasa atau makan. Kata tersebut seakar kata yang sama dengan ifthor atau futhur yang bermakna yang sama. Maka ketika kedua kata digabungkan menjadi Idul Fitri, dapat dipahami bahwa pada saat Idul Fitri semua harus makan dan bahkan disunahkan memakan sesuatu lebih dahulu sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri.
Munasabah Ayat Shiyam dengan Al-Baqarah 188
Mayoritas berpandangan bahwa tujuan shiyam itu terdapat pada al-Qur’an surat Al-Baqarah pada ujung ayat 183 yaitu bertakwa. Namun, jika dilihat secara keseluruhan tentang tujuan ayat-ayat tujuan puasa itu dimulai dari menjadi bertakwa (Q.S. Al-Baqarah (2): 183), menjadi orang bersyukur (Q.S. Al-Baqarah (2): 185), dan mendapatkan petunjuk kebenaran (Q.S. Al-Baqarah (2): 186). Itulah tujuan ayat-ayat puasa yang sering kali dibahas oleh para mubaligh mulai ayat 183 hingga ayat 187.
Namun, sesungguhnya jika memperhatikan pada ayat ke-188, terdapat munasabah (keterkaitan) dengan ayat-ayat 183 sampai dengan ayat 187. Keterkaitannya terdapat pada hal makan. Pada ayat 183 hingga 187 dapat dipahami sebagai larangan Allah Swt kepada kaum beriman untuk memakan makanan yang mubah namun terlarang karena shiyam. Khusus ayat 185, secara tidak langsung diperkenankan wajib makan yang halal saat Idul Fitri. Sedangkan pada ayat ke-188 Allah Swt melarang seseorang memakan harta haram melalui jalan kebatilan dan keserakahan.
Terjemahan ayat 188 adalah “Dan janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian dengan jalan bathil, dan membawa perkara tersebut kepada hakim (dengan cara memberikan persaksian palsu dan iming-iming kepada hakim) agar dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, sedangkan kalian mengetahuinya.”
Ayat 188 tersebut, terkait makan paling tidak terbagi menjadi tiga bagian penting. Pertama, memakan harta, kedua memakan dengan cara batil, dan ketiga membawa perkara kepada hakim untuk memakan harta dengan batil dengan jalan memberikan pengaruh kepada hakim melalui persaksian palsu atau memberikan iming-iming atau suap (dalam bahasa Arab disebut dengan Risywah).
Bagian pertama, ketika Allah Swt menggunakan diksi larangan memakan harta dengan tidak menggunakan kata memakan makanan, menunjukkan bahwa beberapa manusia karena terlalu tamaknya terhadap harta hingga Allah Swt menyebutnya dengan “memakan” terhadap harta. Hal ini karena nafsu selalu diawali dengan perut yang terkait erat dengan al-Aklu yang ketika sudah mendominasi syahwat tersebut makanpun juga terhadap harta. Inilah sindiran Allah Swt kepada mereka yang serakah dan tidak pernah merasa cukup dengan yang halal dan dibenarkan dalam Islam. Demikianlah yang dijelaskan oleh al-Thabathaba’i yang dikutip dari Tafsir at-Tanwir.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi pernah menyebutkan tentang konsep harta dalam Islam. Jika di masa lalu yang termasuk harta adalah emas dan perak. Keduanya di masa lalu itulah yang paling berharga. Namun, jika dilihat pada masa kontemporer, harta diperluas menjadi segala hal memiliki nilai ekonomis. Berbagai macam aset yang bernilai termasuk dalam harta. Mulai dari tanah, bangunan, kendaraan, dan segala aset lainnya. Maka jika dihubungkan dengan pada paragraf di atas, ada golongan yang sangat serahkan sehingga dapat disebut dengan memakan tanah, bangunan, kendaraan, bahkan hingga jalanan.
Bagian kedua, kata al-Bathil bermakna dua pengertian pada ayat tersebut. Pertama, al-Bathil adalah memakan harta dengan jalan pencurian, penggelapan, dan juga perampasan. Kedua, kata tersebut mengandung arti memakan harta dengan jalan perjudian atau berbagai spekulasi. Kebatilan pada ayat tersebut dipesankan sebagai bagian dari makna memakan harta. Orang yang memakan harta dengan jalan batil adalah penegasan tentang orang-orang tamak yang tak pernah puas dengan harta yang mubah dan halal.
Bagian ketiga adalah membawa perkara kepada hakim untuk tujuan memakan harta yang haram. Jika merujuk pada tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada masa lampau terdapat dua orang berperkara soal hutang piutang. Pihak piutang tidak memiliki bukti yang cukup perihal tersebut. Sedangkan pihak pengutang ingin membawa perkara tersebut kepada hakim dengan tujuan tidak membayarkan hutangnya dengan memberikan pengaruh kepada hakim dengan jalan memberikan persaksian palsu.
Jika merujuk pada tafsir al-Misbah dan at-Tanwir, cara yang dilakukan mempengaruhi hakim dalam perkara di atas adalah dengan jalan memberikan iming-iming atau suap agar keputusan berpihak kepada orang yang ingin memakan harta dengan cara batil. Suap dalam Islam disebut dengan risywah dengan makna memberikan sesuatu untuk memperoleh sesuatu.
Larangan Dusta
Sofwan bin Sulaim pernah bertanya tiga hal kepada Nabi Muhammad Saw. Pertama, mungkinkah seorang mukmin menjadi penakut? Mungkin saja, jawab Nabi Saw. Kedua, mungkinkah seorang mukmin menjadi bakhil atau pelit? Mungkin saja jawab Nabi. Ketiga, mungkinkah seorang mukmin menjadi pendusta? Tidak mungkin. (HR. Imam Malik No. 1571). Secara sederhana dapat dipahami bahwa siapa saja yang berdusta maka lepaslah keimanannya.
Demikian pula diperkuat dalam hadits lain yang dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud r.a tentang kewajiban seseorang untuk menjadi jujur dan berhati-hati dari perilaku dusta yang masing-masing diberikan ganjaran surga dan neraka (HR. Muslim dan Bukhari). Ditambahkan lagi dengan apa yang telah difirmankan Allah Swt tentang perintah bertakwa kepada orang beriman dan membersamai orang-orang yang benar atau jujur (QS. At-Taubah (9): 119).
Tahun 2014, Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara peringkat ke-33 kejujurannya dari 40 negara yang diteliti. Urutan paling akhir diduduki oleh China, sedangkan urutan pertama adalah negara Swiss. Lima besar berikutnya adalah negara-negara pecahan Skandinavia. Metode yang dilakukan dalam penelitian tersebut dengan melakukan uji sosial menyebarkan dompet sejumlah 17.303 dompet ke 355 kota dari 40 negara. Penilaian didasarkan pada jumlah terbanyak yang mengembalikan dompet kepada pemiliknya (Civic Honesty Around The Globe, 2014).
Nabi Saw memiliki sifat utama Sidiq (jujur), sebelum sifat-sifat lainnya yaitu Fathonah (cerdas), Amanah (Dipercaya), dan Tabligh (paham dan mampu membuat orang lain paham). Jujur merupakan sifat utama yang menjadi penentu dan pondasi lahirnya peradaban Mekkah dari sangat rendah menjadi sangat beradab hingga memberikan pengaruh besar dalam peradaban kemanusiaan semesta.
Lahirnya tokoh besar yang fenomenal Umar bin Abdul Azis adalah berawal dari kisah Ummu Umarah yang menikah dengan Ashim bin Umar. Pernikahan tersebut melahirkan keturunan seorang wanita bernama Layla binti Ashim. Layla binti Ashim menikah dengan Abdul Azis bin Marwan yang merupakan ibu dan ayah Umar bin Abdul Azis. Kepemimpinannya yang jujur, bersahaja, dan adil melahirkan generasi masyarakat yang sangat makmur berdampak pada sulitnya mencari para penerima zakat. Sosok beliau diawali dengan kisah Ummu Umarah sebagai anak penjual susu yang sangat tegas integritasnya melalui sikap jujurnya yang tidak mau tunduk pada perintah ibunya untuk mencampurkan susu dengan air untuk dijual.
Jika dikaitkan dengan persaksian dusta yang terlarang pada surat ke-2 ayat 188 tersebut sungguh merupakan perbuatan yang sangat terlarang dan berpotensi besar menghapus keimanan kita kepada Allah SWT meskipun lisan kita mengaku beriman. Jika dihubungkan dengan ayat-ayat puasa dan hadist-hadist Nabi Saw tentang begitu eratnya pelajaran puasa dengan kejujuran nampaknya adalah bagian dari pembuktian para pelaku puasa tentang keimanan, ketakwaan, dan kesyukurannya yang telah diajarkan melalui ibadah puasa.
Larangan Risywah
Iming-iming atau tawaran bagi orang yang berperkara bertujuan untuk mempengaruhi hakim pada ayat 188 tersebut dalam Islam dikenal dengan risywah. Risywah dalam bahasa Arab berasal dari kata rasya-yarsyu-risywatan yang maknanya adalah al-ju’l berarti upah, hadiah dan pemberian komisi (HPT 3, 2018). Sedangkan suap adalah merupakan tindakan dalam bentuk memberikan suatu yang bernilai untuk mendapatkan hak milik orang lain atau menghalangi orang lain mendapatkan haknya. As-San’ani dalam Subul as-Salam mendefinisikan risywah adalah upaya memperoleh sesuatu dengan memberikan sesuatu.
Rasulullah Saw dalam hadisnya dari Tsauban pernah bersabda melaknat penyuap, yang di suap, dan yang menjadi perantara suap (HR. Ahmad). Dalam hadist tersebut pelaku suap dan yang disuap bahkan hingga yang mengantarkan suap terlaknat (bermakna dosa) oleh Nabi Saw. Ketika perilaku tersebut berkonsekuensi dosa, maka pada saat yang sama menjadi larangan berkosekuensi haram dilakukan. Sebagaimana dalam kaidah ushul “hukum asal larangan adalah haram untuk dilakukan”.
Dalam Himpunan Putusan Tarjih 3 karya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan pada tahun 2018 risywah menjadi salah satu definisi korupsi perspektif Islam selain dari Ghulul dan Aklu Suht. Ketiga hal tersebut merupakan khazanah Islam yang disesuaikan dengan istilah korupsi yang merupakan produk kontemporer. Ketiganya merujuk dari istilah-istilah tindakan curang pada masa lampau sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi Saw.
Secara sederhana yang termasuk Ghulul terbagi atas beberapa bentuk. Pertama, Komisi yang diambil atau diperoleh diluar dari gajinya yang telah ditetapkan sebagai pejabat negara (HR. Abu Daud). Kedua, hadiah yang diberikan atau diperoleh karena jabatan yang melekat pada dirinya (HR. Abu Daud dan al-Bukhari). Ketiga, penggelapan atau pencurian harta milik negara sebagaimana kisah dalam penaklukan Khaibar dan pengambilan mantel hasil rampasan perang oleh Mi’dam dan juga pencurian tali sepatu pada peristiwa yang sama dan Nabi enggan mensholatkan jenazahnya (HR. Abu Daud dan al-Bukhari).
Keempat, pemanfaatkan harta negara dengan jalan tidak sah yang diambil dari kisah Mu’adz bin Jabal (HR. At-Tirmizi), Kelima, perlindungan terhadap pelaku korupsi yang disebutkan oleh Nabi Saw sebagai bagian dari Ghulul (HR. Abu Dawud dan at-Tabhrani). Keenam, Pelemahan sistem hukum karena ada penyogokkan yang dilakukan oleh seorang ayah atas anaknya yang memiliki kasus berbuat tidak senonoh dengan istri majikan (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan Aklu Suht sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir Ahkam al-Qur’an ketika menafsirkan kata Aklu Suht pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 42 dan 62-63 dengan mengutip sahabat Nabi Saw, yaitu Ibnu Mas’ud yaitu “menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu kepentingan. Amiril Mukminin Umar bin Khattab mengemukakan hal yang sama dengan Ibnu Mas’ud dan menambahkan sebagian dari penjelasanya yaitu as-Suht adalah ketika ada seseorang yang berada di lingkungan kekuasaan dan memiliki pengaruh besar terhadap penguasa lalu menerima imbalan atas posisinya dari orang lainyang memiliki kepentingan sehingga penguasa memudahkan kepentingannya.
Itulah beberapa istilah korupsi dalam Islam yang dirujuk dari pemberantasan korupsi perspektif Muhammadiyah dalam HPT 3. KPK pernah merilis pada tahun 2014, jika pertambangan tidak dikorupsi maka setiap warga negara Indonesia niscaya mendapatkan lima belas juta setiap bulan. Namun, tampaknya ungkapan bahwa korupsi orde lama di bawah meja, orde baru di atas meja, dan orde reformasi mejanya yang dikorupsi sangatlah relevan dengan keadaan kita. Meja yang dikorupsi dimaknai dengan bahwa korupsi era ini adalah korupsi yang terlindungi oleh hukum dan konstitusi. Hal ini akibat mereka para pelaku korupsi masuk pada ruang parlemen dan menciptakan undang-undang yang berpihak pada eksploitasi kekayaan negara.
Mengaitkan hal-hal di atas dengan pelaku puasa didapati bahwa mereka adalah sosok yang sangat hebat. Jika pelaku puasa mampu menahan dari hal-hal yang mubah saat Ramadhan, maka idealnya menahan diri dari hal yang terlarang harusnya menjadi lebih mudah. Jika memperluasnya, maka pelaku puasa tidak akan mungkin melakukan hal-hal terlarang sebagaimana di atas termasuk larangan dalam surat Al-Baqarah ayat 188 karena telah terlatih menjadi orang-orang yang memiliki integiritas tinggi melangit di bulan Ramadhan. Hal tersebut ditandai dengan saat Ramadhan ruh dan jiwanya yang sangat dominan dan hubungan intim dengan Allah Swt (selalu dibersamai-Nya). Ketika selalu dibersamai Allah Swt maka dirinya tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang terlarangan oleh-Nya.
Integritas Pelaku Puasa
Kesucian saat Idul Fitri bisa diperoleh pemaknaannya dari tiga penjelasan. Pertama, pelaku puasa dengan iman dan pengharapan tinggi kepada ridho Allah Swt maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Kedua, pelaku puasa ketika melakukan pembayaran terhadap zakat fitri yang bertujuan mensucikan pelaku puasa perkataan sia-sia dan kotor. Ketiga, tradisi saling memaafkan bagi muslim Indonesia. Poin pertama dan kedua adalah dosa kepada Allah Swt terhapus, sedangkan dosa kepada manusia tidak akan terhapus jika poin ketiga tidak dilakukan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ciri orang beriman sebagai pelaku puasa haruslah jujur. Bahkan Nabi Saw pernah bersabda bagi siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dusta sekaligus pengamalannya maka niscaya Allah Swt tidak akan menerima dia meninggalkan makan dan minumnya (puasa) (HR. Bukhori). Hadist tersebut dapat dipahami bahwa ketakwaan dan kesyukuran yang mengantarkan pada kesucian tidak akan mungkin bisa digapai ketika keimanannya diragukan akibat suka berkata dan mengamalkan dusta.
Pelaku dusta beririsan erat dengan penyuapan atau iming-iming yang dilakukan dengan tujuan agar keputusan suatu perkara tidak sesuai fakta apa adanya (jujur terhadap keadaan). Dengan suap menyuap, maka keputusan akan tidak sesuai pada keadilan yang seharusnya ditegakkan. Jalan dosa ini menjadi bukti kegalalan pelaku puasa dalam menjalankan puasanya karena bahan untuk menjadi takwa dengan proses puasa adalah orang beriman. Ketika imannya lepas dari dirinya maka amalan apapun tidak akan pernah sampai kepada Allah Swt.
Sungguh surat Al-Baqarah ayat 188 sangat erat kaitannya dengan keadaan saat ini. Mulai dari sidang di Mahkamah Konstitusi yang kita semua berharap tidak ada yang bersaksi palsu atau dusta hingga memberikan suap kepada para hakim konstitusi sebagai The Guardian of Constitution dengan segala bentuknya. Ditambahkan lagi dengan berita mencengangkan tentang korupsi 271 Trilyun dari industri ekstraktif timah yang sangat mengiris hati kita sebagai anak bangsa.
Oleh karenanya, marilah kita renungkan dan upayakan sekuat tenaga untuk meninggalkan larangan yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 188 sebagai identitas dari para pelaku puasa yang saat ini sedang beridul fitri. Kegigihan pembukitiannya pastilah akan mengantarkan kita menjadi manusia berperadaban utama yang mampu menghadirkan kesejahteraan dunia dan keselamatan akhirat. Semoga Allah Swt meridhoi dan meguatkan kita semua. Wallahu a’lam
*Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok