Esai/Opini

Dari Empiri Mengandung Apriori

PDM DEPOK – Oleh: Ahmad Fanani Mosah*

Ada saja fenomena ummat di lingkungan masyarakat. Rerata mereka (para pendatang baru) di persyarikatan Muhammadiyah di tingkat rendah semisal ranting dan cabang. Oknum yunior/pelaku-pelaku organisasi itu seolah tak mau menghargai jerih payah dan perjuangan para seniornya. Lebih miris lagi: kok tega mentala  mendepak para pendahulunya. Dalihnya para pendahulu itu diragukan kemuhammadiyahannya.

Maklum para tetua yang notabene sepak-terjangnya ikhlas setulus hati nurani itu tidak menghiraukan soal administrasi. Sehingga meninggalkan kartu Nomor Baku Muhammadiyah (NBM)-nya. Yang penting berjuang, berjuang dan berjuang. Ya, sekuat tenaga. Bahkan tak henti-hentinya para sesepuh itu mengadakan “perjungan dan doa” (begitu kata Rhoma Irama dalam lagu dan filmnya). Hehehehe…..

Siapa sangka dengan gerak lincah (bagaikan atraksi panggung action anda song) pengabdian para tetua itu memunculkan sebuah organisasi yang kini beradministrasi tertata secara lengkap dengan registrasi. Padahal dulunya sarana untuk ngepos pengurus saja tidak punya. Hingga tokoh-tokoh senior itu rela rumahnya dijadikan tempat tongkrongan untuk mengobral-obrol seputar kemuhammadiyahan.

Namun sayang disayang seribu sayang. Generasi penerus itu kurang (bahkan tidak) becus mengurus. Dia anggap dirinya sendiri yang ahli pikir dan dzikir. Segala tuduhan minir terus mengalir. Tertimpakan pada para pejuang fakir. Sikap dan pemikiran apriori seolah terpateri dalam sanubari. Anak muda yang ambisius tinggi hanya melihat ajaran Muhammadiyah yang sudah jadi. Generasi muda tidak punya sudut pandang yang terkenang.

Bukankah tokoh kita yang terkenal sebagai pendiri organisasi persyarikatan Muhammadiyah, KH.Ahmad Dahlan yang formulasi keilmuannya bersinergi dengan KH.Hasyim Asy’ari? Toh sama-sama menjadi santrinya KH.Soleh Darat – Semarang.  Dengan pemunculan persyarikatan oleh Muhammad oleh Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) sebelum menunaikan ibadah haji. Begitu sepulang dari Makkah, KH.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi persyarikatan bernama Muhammadiyah, pada tanggal 18 November 1912.

Yang kemudian pada gilirannya dari tahun ke tahun diteruskan oleh para generasi berikutnya. Mayoritas para pengurus dan tampuk pimpinan Muhammadiyah dari segala tingkatan (mulai dari yang paling bawah : ranting, sampai dengan pusat) tentu sudah mendapat gemblengan. Bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinannya harus punya bekal prosfesional. Walau ia sebagai orang di nomor satu dalam wilayah kerja organisasinya, haruslah tetap mengedepankan pertemanan.

Sehingga dengan demikian status sahabat dan koleganya tetap utuh dan akrab. Pengurus organisasi itu bersifat “garingan” dan penuh pengorbanan. Status dan atau perubahan pangkat datang – pergi silih berganti seiring dengan perubahan situasi dan kondisi (baca : jaman). Berarti kita tinggal menciptakan suasana jiwa biar tak merana. Karena secara psikologis, gerak hati itu tak dapat dipungkiri. Sorot mata merupakan sebuah tanda. Gerak jasmani seumpama sinyal berbunyi. Teknik “srawung” seharusnya dijunjung.

Masih berangkat dari fenomena yang ada, banyak kalangan (dari suara rakyat saling sambat-menyambat), bahwa orang-orang Muhammadiyah kurang dekat dengan rakyat. Kurang membaur dengan ummat.  Kaum awam menganggap, Muhammadiyah itu elit, pelit, eksklusif, dan sebagainya. Masyarakat juga membuat tafsir keliru berdasar anasir mengalir, bahwa Muhammadiyah itu hanya untuk kelompok papan atas. Orang-orang the have saja. Sehingga di kampung-kampung banyak yang jember kiwer-kiwer.

Akar permasalahannya sangat mendasar. Bermula dari warga Muhammadiyah sendiri yang kurang bahkan boleh dibilang tidak bisa menyatu dengan ummat-ummat yang lain. Jika berpapasan dengan orang-orang yang bukan komunitasnya, tidak mau saling bertegur sapa. Lantas orang-orang Muhammadiyah itu dituduh congkak, angkuh, sombong. Tuduhan semacam ini tidak benar. Perangai semacam itu bukan produk ajaran kemuhammadiyahan. Itu adalah sebatas tindak-tanduk oknum (pelaku) yang kebetulan orang/warga Muhammadiyah saja.

Namun yang menjadi pertanyaan, jika hal demikian itu adalah ulah oknum, kenapa kok banyak dan hampir semua orang Muhammadiyah berlaku seperti yang disangkakan di atas?  Dan rata-rata di semua tempat banyak orang yang memberi penilaian minir.  Dulu pernah ada tudingan bahwa yang banyak mengkultus-individukan tokoh seseorang adalah orang-orang/warga Nahdhiyin/orang-orang NU (Nahdhatul Ulama). Kini berbalik arah 180 derajat: ada lho, tokoh Muhammadiyah yang dipuja-puji.

Materi-materi pembinaan karakter dan landasan ideologi buat warga Muhammadiya, pernah diuraikan dalam buku bertajuk Dinamisasi Perkaderan Muhammadiyah, halaman 10. Bahwa usaha untuk mewujudkan ideologi Islam adalah menjalin persaudaraan universal dan kesetaraan (equality). Penulis buku termaksud, Dr.Ari Anshori, M.Ag mengulik Surat Al-Hujurat ayat 13 dalam karyanya setebal 156 halaman itu :  “Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui”.

Paling tidak itulah hal-hal yang perlu diketahui dan diterapkan oleh warga Muhammadiyah sebagai satu kesatuan di kampung halaman. Thomas Aquino pernah bilang, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Mau tidak mau, yang namanya manusia harus berkumpul dengan manusia lain. Berarti dalam hidupnya  wajib bermasyarakat. Tidak individual.

Hal ini sejalan dengan program pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), terdapat 18 karakter yang dijadikan pegangan dalam proses pendidikan – yang tiada hentinya itu – yakni :

  1. Religius.
  2. Jujur.
  3. Toleransi.
  4. Disiplin.
  5. Kerja Keras.
  6. Kreatif.
  7. Mandiri
  8. Demokratis
  9. Rasa Ingin Tahu
  10. Nasionalisme (semangat kebangsaan)
  11. Cinta tanah air
  12. Menghargai Prestasi
  13. Komunikatif (senang bersahabat dan proaktif)
  14. Cintai Damai
  15. Gemar Membaca
  16. Peduli Lingkungan
  17. Peduli Sosial
  18. Tanggung Jawab.

Dengan memahami betapa penting adanya organisasi keumatan berskala besar semisal Muhammadiyah itu, kita sadar bahwa kita adalah pelayan umat/masyarakat seyogyanya melayani dengan solusi tepat, akurat disertai gerak cepat agar tidak menambah beban berat.

Semoga dengan adanya tampilan narasi-narasi di atas, tak ada lagi temuan fenomenal sikap apriori minir yang mengalir. Melalui opini ini harapan ke depan dapat menggugah dan merubah sikap warga Muhammadiyah yang selama ini dipandang sebagai organisasi persyarikatan yang diperhitungkan, disamping kelompok Nahdhatul Ulama (NU), yang konon kabarnya akhir-akhir ini juga mengalami pembenahan diri.

*Anggota Majlis Dikdasmen & PNF PCM Babat, Lamongan, Jatim

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button