Berpakaian Ihram, Tapi Bukan Muhrim

PDM DEPOK – Oleh: H. Ali Wartadinata*
Berpakaian ihram dalam umrah hukumnya wajib. Orang yang berpakaian ihram, dan didahului dengan mandi, memakai wewangian, kemudian shalat dua rakaat di miqat dan beriqrar umrah atau haji. Orang yang berihram itu disebut muhrim.
Kata “muhrim” yang sering kita dengar dimaknai orang yang dilarang untuk dinikahi, seperti ibu, kakak, dan nenek. Menggunakan kata “muhrim” dengan makna seperti itu adalah tidak benar. Untuk makna yang seperti itu, yang benar adalah “mahram”, sedangkan “muhrim” yang tepat adalah orang yang sedang berihram.
Bagi laki-laki, pakaian ihramnya adalah dua helai kain yang tak tersambung. Satu helai untuk bawahan dan satu helai lagi untuk atasan. Sedangkan untuk perempuan, menggunakan baju yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan tangan.
Seseorang yang dalam keadaan muhrim terikat dengan aturan-aturan sepanjang masa dia berihram. Aturan berupa meninggalkan larangan-larangan ihram, seperti menikah, menikahkan, melamar, membunuh binatang buruan, memotong kuku, dan memotong rambut. Beberapa contoh larangan ihram itu harus dijaga jangan sampai dilakukan.
Masa seseorang dikatakan sebagai muhrim adalah saat dia mengambil miqat, bertawaf, bersa’i, dan bertahalul ketika umrah. Sedangkan bagi yang berhaji, dimulai ketika miqat di Makkah sebelum berangkat ke Mina. Kemudian menuju Mina untuk bertarwiyah di tanggal 8 Dzulhijjah, wukuf di tanggal 9, bermalam di Muzdalifah, dan mabit di Mina untuk melakukan jumratul aqabah di tanggal 10 dan kemudian bertahalul awwal.
Adakah orang yang berpakaian ihram tetapi bukan muhrim yang terikat dengan larangan-larangan? Ada. Pertama, saat sebelum beriqrar di miqat, maka ia belumlah dikatakan muhrim. Semisal jamaah umrah yang berangkat dari Madinah ke Makkah, selama perjalanannya dari Makkah ke Masjid Dzulhulaifah atau Bi’run Ali, dia belumlah muhrim, baru berpakaian ihram.
Kedua, berpakaian ihram agar dapat thawaf Sunah dan shalat di pelataran Ka’bah. Saat ini, aturan di Masjidil Haram dalam hal thawaf di pelataran Ka’bah cukup ketat. Yang bisa masuk dan berada di tempat tersebut hanyalah muhrim, orang yang berihram atau paling tidak berpakaian ihram. Jadi, jika kita ingin berada di pelataran Ka’bah, harus berpakaian ihram.
Shalat di depan Ka’bah, atau paling tidak di pelatarannya, adalah impian bagi orang yang berumrah atau haji, bahkan mungkin impian semua Muslim di dunia. Ada suasana yang lain saat shalat di dekat dan melihat Ka’bah. Maka, cara-cara tertentu agar dapat shalat di tempat tersebut dilakukan, termasuk berpakaian ihram, tetapi bukan sedang dalam keadaan muhrim.
Berthawaf Sunah tidak perlu memakai pakaian ihram, cukup pakaian biasa, dalam keadaan suci dari hadats, dan bisa dilaksanakan di lantai 1, 2, 3 Masjidil haram. Namun, jarak tempuh akan lebih jauh jika dibandingkan di pelataran Ka’bah, demikian juga durasi waktu yang lebih lama, maka memilih tempat di Daur Aradhi atau pelataran Ka’bah adalah menjadi pilihan utama jamaah.
Keterbatasan luas pelataran dan jumlah jamaah yang tidak dapat tertampung di area pelataran Ka’bah, membuat pihak “DKM” Masjidil Haram membuat aturan yang membatasi siapa yang bisa berada di pelataran Ka’bah.
Catatan ringan jelang shalat Maghrib, Jumat, 3 November 2023, di dekat pintu 90.
*Ketua PDM Kota Depok