DinamikaEsai/OpiniKeislamanPersyarikatan

Simak! Status Nasab Anak Hasil Perbuatan Zina

PDMDEPOK.COM – Dalam ajaran Islam, status nasab anak serta keabsahan akad nikah merupakan isu yang memiliki landasan hukum yang jelas. Artikel ini akan menjelaskan terkait pertanyaan mengenai status nasab anak hasil perbuatan zina, keabsahan akad nikah anak perempuan dari hubungan tersebut, serta kebutuhan pembaharuan akad nikah.

Berikut penjelasan dari persoalan di atas berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta pandangan fikih.

Status Nasab Anak Hasil Perbuatan Zina

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99, anak yang sah didefinisikan sebagai: (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, atau (b) anak yang lahir dari hubungan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Hal serupa diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 42, yang menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Berdasarkan ketentuan ini, seorang anak yang lahir dari ibu yang hamil sebelum pernikahan, namun dilahirkan setelah pernikahan yang sah, dianggap sebagai anak sah dari ayah dan ibunya.

Dalam konteks ini, tidak ada larangan dalam hukum Islam atau peraturan di Indonesia bagi perempuan hamil untuk menikah. Larangan hanya berlaku bagi perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya dan sedang hamil, yang harus menjalani masa iddah hingga melahirkan.

Dengan demikian, jika seorang perempuan hamil karena zina kemudian menikah secara sah sebelum melahirkan, anak yang lahir setelah pernikahan tersebut dianggap sah secara hukum dan memiliki nasab kepada ayah dan ibu dalam perkawinan tersebut.

Pendekatan ini juga didukung oleh pandangan mazhab Hanafiyah, yang menganggap anak yang lahir setelah enam bulan perkawinan sebagai anak sah.

Keabsahan Akad Nikah dengan Ayah sebagai Wali

Pertanyaan kedua berkaitan dengan keabsahan akad nikah anak perempuan yang lahir dari ibu yang hamil sebelum pernikahan, dengan laki-laki yang menikahi ibunya sebagai wali nikah.

Berdasarkan KHI dan UU No. 1/1974, jika anak perempuan tersebut dianggap sah karena lahir dalam perkawinan yang sah, maka laki-laki yang menikahi ibunya adalah ayah biologis sekaligus ayah sah menurut hukum. Sebagai ayah sah, ia berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.

Dalam hukum Islam, wali nikah adalah salah satu syarat sahnya perkawinan, dan ayah kandung memiliki prioritas utama sebagai wali. Karena status anak perempuan tersebut sah, akad nikah yang dilakukan dengan ayahnya sebagai wali dianggap sah secara hukum.

Tidak ada keraguan mengenai keabsahan pernikahan ini, sepanjang syarat dan rukun nikah lainnya (seperti ijab kabul, saksi, dan mahar) terpenuhi.

Kebutuhan Pembaharuan Akad Nikah

Mengenai apakah perlu pembaharuan akad nikah karena ayah dianggap tidak sah sebagai wali, jawabannya adalah tidak perlu. Seperti dijelaskan sebelumnya, ayah dari anak perempuan tersebut adalah wali yang sah karena status anaknya yang sah menurut KHI dan UU No. 1/1974.

Pernikahan yang telah dilangsungkan dengan ayah sebagai wali telah memenuhi ketentuan hukum, sehingga tidak ada dasar hukum untuk melakukan pembaharuan akad nikah.

KHI sebagai konsensus ulama dan umat Islam di Indonesia, serta UU No. 1/1974 sebagai hukum positif, menjadi landasan kuat dalam mengatur perkawinan umat Islam di Indonesia. Kedua regulasi ini memastikan bahwa pernikahan yang memenuhi syarat hukum dianggap sah, termasuk dalam kasus di mana anak lahir dari ibu yang hamil sebelum pernikahan, selama anak tersebut lahir dalam ikatan perkawinan yang sah.

Kesimpulan

Berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia, anak yang lahir dari ibu yang hamil sebelum pernikahan namun dalam ikatan perkawinan yang sah dianggap sebagai anak sah, memiliki nasab kepada ayah dan ibunya.

Akad nikah anak perempuan tersebut dengan ayahnya sebagai wali adalah sah, karena ayahnya adalah wali yang sah menurut hukum.

Dengan demikian, tidak diperlukan pembaharuan akad nikah, karena pernikahan yang telah dilangsungkan telah memenuhi syarat dan rukun hukum.

Referensi: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Pernikahan Anak Hasil Zina”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 22 Tahun 2017.

dikutip dari: Muhammadiyah.or.id

Related Articles

Back to top button