Esai/Opini

Filosofi Pengajaran: Self-Interest Menurut KH Ahmad Dahlan

PDM Depok – Oleh: Yansa Alif Mulya*

“To be negligent incessantly, we will be in loss and misfortune. We should not neglect; we must be mindful, will fail people at leisure in search of well-being and happiness in this world, let alone the afterlife”

Dalam buku berjudul The Teaching of KH. Ahmad Dahlan, penulis menjelaskan tujuh filosofi dari pengajaran. Filosofi pertama yang disebut dalam bahasa psikologi adalah self-interest. Pada paragraf pertama bagian ini, KH. Ahmad Dahlan mengajak para pembaca berpikir tentang kehidupan, “Kita hanya sekali hidup di dunia ini dengan berbagai risiko,… , di akhirat nanti, apakah kita akan bahagia atau menderita,” ujarnya.

Tentunya, pertanyaan ini bukan tanpa dasar, Beliau menjelaskan bahwa kepercayaan akan setiap orang akan meninggal harus ditanamkan, termasuk oleh seorang ulama (juga bisa disebut sebagai ahli ilmu pengetahuan). Ulama seperti halnya manusia biasa yang sedikit banyak mengalami kebingungan atas kehidupan ini, tetapi mereka merupakan salah satu yang bertaqwa.

Bagi KH. Ahmad Dahlan, ulama yang taat akan merasa takut akan kematian, tetapi juga merasa ikhlas di satu sisi. Lalu, bagaimana bisa manusia terpisah dari dua golongan? Golongan yang takut kematian dan tidak bertaqwa, dengan golongan sebaliknya? KH. Ahmad Dahlan mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kendali untuk merasakan fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya. Hingga pada akhirnya, manusia yang mengalami kebingungan dan ketakutan akan kematian, yang pada hal yang lebih ekstrem menolak percaya akan adanya kehidupan setelah kematian adalah manusia yang menutup diri pada fenomena kehidupan sekitarnya. Hal ini dikuatkan lagi tentang bagaimana manusia yang ingin mendapatkan kesenangan di akhirat, sarat akan merasakan kesakitan di dunia. Dalam hal ini, self-interest menjadi aspek terpenting apakah manusia tertarik dan selanjutnya berusaha memahami kebesaran Allah SWT.

Untuk mempermudah pemahaman tentang konsep ini, KH. Ahmad Dahlan menceritakan tentang seseorang yang terlena akan kesenangan dunia. Beliau menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang berada diatas sebuah Menara tinggi. Suatu ketika, Ia terjatuh dari Menara tersebut dan berhasil bergantung di seutas tali. Tidak lama kemudian, ada seekor tikus yang menggerogoti tali itu hingga putus. Sementara itu, di bawah laki-laki tersebut ada seekor ular raksasa yang siap memakannya jika suatu waktu ia terjatuh.

Pada akhirnya, laki-laki itu terjatuh dan hanya bisa menatap langit di atas dengan perasaan pasrah akan dimakan seekor ular raksasa. Begitulah kehidupan, ketika seseorang sedang berada di atas kesenangan, ia dapat merasakan kenikmatan dunia. Tetapi, ketika suatu waktu ia menemukan kematiannya, dirinyapun tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ia sedang merasakan kenikmatan, sudah ada yang menunggunya. Itulah, kehidupan setelah kematian.

Ada dua poin utama yang bisa diperhatikan pada filosofi yang pertama ini. Pertama, manusia yang belum menerima atau menolak pembelajaran religius, biasanya memiliki penilaian bahwa manusia akan menjadi debu setelah mengalami kematian, tidak ada kehidupan setelahnya. Itu mengartikan, manusia yang seperti itu tidak percaya adanya peradilan untuk mempertanggungjawabkan tingkah laku selama hidup, pun mereka juga tidak percaya bahwa kebaikan di dunia akan diberikan surge atau sebaliknya.

Kedua, Rasulullah SAW mengatakan bahwa seluruh kaum muslim bahwa darimana manusia berasal dan akan dibawa kemana setelah kematian. Sehingga, kehidupan di dunia penuh dengan kepastian. Bagi manusia yang tidak percaya tentang hal itu, mereka akan selalu tersesat, malang, dan kesulitan.

Filosofi pembelajaran dari KH. Ahmad Dahlan ini bisa dikatakan sebagai bentuk self-interest. Secara umum self-interest dapat dikatakan sebagai kebutuhan atau ketertarikan pada diri manusia. Sebagian besar perilaku yang menunjukkan adanya self-interest sering terjadi tanpa sadar (without conscious knowing).

Dalam perspektif psikologi, self-interest termasuk pada ego, melihat manusia memiliki dorongan melalui self-interest dan narsistik. Tentunya, ego semacam ini tidak sehat karena menguras energi psikologis serta mengganggu dan membuat kacau identitas diri. Pada akhirnya, manusia yang memiliki self-interest yang salah akan mengalami kebingungan dengan individunya sendiri.

*Lahir di Lumajang, tanggal 15 Juli 1998. Saat ini, melanjutkan studi magister psikologi di Universitas Indonesia, dengan peminatan Psikologi Kepribadian. Ia mendapatkan gelar sarjana psikologi di UIN Maliki Malang. Penulis tertarik dengan kepribadian manusia, psikologi forensik, psikologi positif, maupun integrasi psikologi dalam Islam. Saat ini, aktif dalam menulis artikel populer dan jurnal riset-riset psikologi.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button