Pembelajaran Mendalam Model Kiai Dahlan dan Abdul Mu’ti

PDM DEPOK – Oleh: Biyanto*
Pada awal menjabat menteri pendidikan dasar dan menengah (mendikdasmen), Abdul Mu’ti memopulerkan pendekatan deep learning dalam proses belajar mengajar. Dengan pertimbangan untuk menjaga kedaulatan berbahasa Indonesia dan berdasar masukan para ahli, istilah deep learning kemudian diganti dengan pembelajaran mendalam (PM).
Mendikdasmen menegaskan bahwa PM bukan kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran.
Penegasan itu penting untuk meluruskan kesalahpahaman di kalangan pegiat, praktisi, dan penyelenggara pendidikan. Penjelasan mendikdasmen sekaligus mengikis persepsi yang sering kali muncul: “Ganti menteri ganti kurikulum”.
Menurut Abdul Mu’ti, PM digunakan untuk mempertajam implementasi pembelajaran dalam Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka. Dua kurikulum itu tetap berlaku di satuan pendidikan seluruh tanah air.
Sebagai pendekatan pembelajaran, PM diharapkan mampu membentuk pelajar yang mandiri, inovatif, dan berdaya saing di tingkat global. Mendikdasmen juga menegaskan bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya soal mentransfer ilmu pengetahuan, apalagi menghafal materi pelajaran.
Lebih dari itu, melalui proses belajar dan mengajar, murid diharapkan mampu menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Mendikdasmen tampak sangat meresapi ungkapan dalam bahasa Latin: non scholae sed vitae discimus. ‘Kita belajar bukan hanya untuk sekolah, melainkan untuk hidup’. Karena itulah, konsep PM lebih menekankan pada pembelajaran yang bermakna.
Murid dididik untuk berpikir analitis, kreatif, dan reflektif. Tugas para pendidik adalah menyiapkan murid agar mampu menjawab tantangan kehidupan. Pada konteks itulah pendidikan nasional membutuhkan guru-guru yang berdedikasi dan mendidik dengan sepenuh hati.
Inspirasi Kiai Dahlan
Selain mengkaji sejumlah referensi relevan tentang deep learning, sebagai aktivis Muhammadiyah, Abdul Mu’ti pasti sangat menjiwai pembelajaran keagamaan yang dipraktikkan KH Ahmad Dahlan. Pendiri dan ideolog Muhammadiyah tersebut begitu mendalam tatkala menelaah ayat-ayat Al-Qur’an.
Kiai Dahlan senantiasa membahas dan mengkaji Al-Qur’an, menelaah dengan teliti kandungan maknanya, serta mempertanyakan sebab-sebab diturunkan ayat (asbab al-nuzul) dan apa yang mesti dilakukan.
Kajian mendalam Kiai Dahlan merupakan realisasi terhadap perintah Allah SWT agar manusia selalu melakukan tadabbur (memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian) terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat Al-Qur’an.
Tatkala memahami Surat Ali ‘Imran ayat 104, Kiai Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan organisasi atau persyarikatan yang rapi. Persyarikatan itu diharapkan mampu mengembangkan dakwah sekaligus mendirikan berbagai amal kemanusiaan.
Yang melegenda tentu saja kajian Kiai Dahlan terhadap Al-Qur’an surah Al-Ma’un. Surah ke-107 itu digunakan Kiai Dahlan untuk menggali sumber dana umat guna membangun basis teologi pengembangan amal sosial.
Warga Muhammadiyah senantiasa diingatkan peristiwa pengajian Kiai Dahlan yang selalu mengajarkan surah Al-Ma’un kepada santrinya selama tiga bulan. Kajian mendalam terhadap surah Al-Ma’un kemudian melahirkan banyak amal kemanusiaan bidang pendidikan, rumah sakit, dan pelayanan sosial.
Kiai Dahlan juga mengkaji surat Al-‘Ashr bersama santrinya selama delapan bulan. Surah ke-103 itu memberikan pesan penting kepada umat mengenai pentingnya menghargai waktu (respect to the time).
Dari kajian pada surah itu lahir “teologi Al-‘Ashr” yang menjadi dasar ajaran berdisiplin, tepat waktu, dan sedikit berbicara banyak bekerja. Praktik ajaran itu begitu ditekankan Kiai Dahlan bersama para ideolog Muhammadiyah periode awal.
Melalui kajian mendalam pada Al-Qur’an, Kiai Dahlan berpesan kepada santrinya agar tidak mempelajari ayat lain sebelum benar-benar mempraktikkan ajarannya.
Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) mengomentari kajian keagamaan yang begitu mendalam model Kiai Dahlan itu sangat disayangkan jika lebih banyak dipuja-puji daripada dijadikan rujukan. Buya Syafii bahkan menyandingkan penafsiran Al-Qur’an model Kiai Dahlan dengan Fazlurrahman.
Fazlurrahman merupakan guru yang banyak menginspirasi pemikiran keislaman Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Buya Syafii. Hal itu terjadi tatkala tiga cendekiawan muslim tersebut belajar di Chicago University, Illinois, Amerika Serikat.
Menurut Buya Syafii, ada kesamaan model penafsiran Al-Qur’an antara Kiai Dahlan dan Fazlurrahman. Keduanya sama-sama berusaha untuk melakukan kontekstualisasi pesan ayat-ayat Al-Qur’an dengan realitas sosial yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Itulah model pembelajaran kemudian yang populer dikenal sebagai contextual teaching and learning. Pada intinya, pendekatan pembelajaran itu mengajak guru dan murid mengaitkan materi pelajaran dengan kondisi dunia yang benar-benar nyata adanya.
PM Model Abdul Mu’ti
Sejalan dengan pengkajian keagamaan model Kiai Dahlan yang begitu mendalam, Abdul Mu’ti mengenalkan PM untuk diimplementasikan di lembaga pendidikan. PM dirumuskan dengan tiga pilar: mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning.
Pilar pertama, mindful learning, mengajarkan pentingnya membangun kesadaran bagi murid untuk terus-menerus belajar. Para pendidik penting mengasah pikiran murid agar pengetahuan dan wawasannya bertambah.
Dengan cara itu, rasa ingin tahu (curiosity) dan nalar kritis murid akan makin terasah. Kemampuan murid dalam menyelesaikan masalah akan berkembang melalui pengalaman, eksperimen, atau praktik langsung.
Pilar kedua, meaningful learning, meniscayakan pembelajaran harus memberikan pengalaman yangbermakna kepada murid. Tugas guru bukan sekadar menyampaikan materi pembelajaran secara tuntas.
Guru harus mampu melaksanakan pembelajaran yang membuat murid antusias dan bersemangat mengikuti kegiatan belajar.
Pada bagian akhir pembelajaran, murid diharapkan mampu membuat refleksi: pengalaman atau inspirasi apa yang diperoleh setelah mempelajari materi? Lalu, apa tindak lanjut yang akan dilakukan setelah mendapatkan pengalaman belajar tersebut?
Pilar ketiga, joyful learning, memastikan murid terlibat secara aktif baik fisik maupun pikirannya mengikuti pembelajaran. Untuk itu, para pendidik penting memperkaya metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan kejiwaan murid.
Guru juga harus mampu membuat murid merasa senang dan nyaman belajar. Dengan demikian, aktivitas belajar begitu mengasyikkan. Waktu belajar selama berjam-jam pun tidak terasa karena murid begitu menikmati.
Menurut Abdul Mu’ti, PM mengutamakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills). Pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan mendalam pasti mendorong murid untuk berpikir kritis, menggali pengetahuan, dan padaakhirnya mampu menghubungkan apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata.
Pendekatan PM model Abdul Mu’ti merupakan ikhtiar untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna dan relevan dengan tantangan abad ke-21.
Dengan menekankan pemahaman yang mendalam, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi, diharapkan murid berkembang menjadi individu yang lebih kritis, kreatif, dan adaptif.
Meski penerapannya membutuhkan energi lebih, terutama dari para pendidik, manfaat jangka panjang yang ditawarkan pendekatan itu sangatlah berharga bagi kemajuan pendidikan nasional.
Pendekatan PM yang digelorakan Abdul Mu’ti bisa jadi merupakan jawaban dari tantangan yang diajukan Buya Syafii. Sebagai bagian dari khazanah, kajian keagamaan yang mendalam model Kiai Dahlan seharusnya memang tidak boleh sekadar dikagumi.
Mendikdasmen tentu ingin lebih dari itu, yakni menjadikan pendekatan PM dalam sistem kurikulum pendidikan nasional. Pada tahun ajaran 2025/2026 ini, pendekatan PM akan mulai diimplementasikan secara piloting untuk satuan pendidikan di penjuru negeri.
Semoga terobosan tersebut menjadi bagian ikhtiar mewujudkan generasi emas 2045. (*)
*Staf ahli menteri bidang regulasi dan hubungan antarlembaga; Sekretaris PWM Jawa Timur; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Harian Disway edisi 11 April 2025