Amal Usaha Muhammadiyah

Mengenal Manhaj Tarjih Muhammadiyah (Bagian 2)

1. Wawasan

a. Paham Agama

Muhammadiyah memahami Islam dalam dua makna: Islam secara umum yang merupakan ajaran seluruh nabi dan Islam secara khusus yang merupakan ajarannya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentang Islam secara umum, Muhammadiyah menyatakan dalam salah satu putusannya: “Agama ialah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.”[1] Karena itu, agama Yahudi bukanlah agama yang diajarkan Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia hanyalah versi corrupted dari Islam yang diajarkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Begitu pula agama Nasrani dalam kaitannya dengan Nabi Isa ‘alaihissalam. Tentu ini tidak menghalangi toleransi, sebab toleransi adalah kita mempersilakan orang yang kita yakini ia keliru untuk melakukan hal yang orang tersebut anggap tidak keliru. Bukanlah toleransi bila kita selalu menilai benar kekeliruan orang lain. Sementara itu, Islam dengan makna khusus didefinisikan dengan pernyataan: “Agama (yaitu agama Islam) yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.”[2]

b. Tajdid

Tajdid yang bermakna pembaharuan, punya dua pemaknaan tergantung dimensinya yang sama-sama tidak lepas dari makna pembaharuan. Bila dimensinya terkait dengan akidah dan ibadah mahdhah, maka pembaharuan di sini bentuknya ialah memperbaharuinya agar murni kembali semurni ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun bila dimensinya adalah selain akidah dan ibadah mahdhah, maka pembaharuan dilakukan dengan membuatnya terus baru sesuai perkembangan zaman[3]. Teladan pembaharuan dalam kedua dimensi ini ialah zamannya Nabi Muhammad beserta para shahabat. Dalam salah satu fatwanya, Muhammadiyah menyatakan: “Orde pengamalan Islam terbaik ialah di Zaman Nabi bersama sahabat, baru kurun berikutnya.”[4] Itu karena akidah dan ibadah mahdhah generasi pertama Islam ini murni, tetapi maju berkembang dalam kehidupan dunianya, semisal ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Toleransi

            Muhammadiyah memang punya ketegasan menilai mana yang benar dengan mana yang salah, mana yang tauhid dengan mana yang kemusyrikan, mana yang sunnah dengan mana yang bid’ah, tetapi itu semua dengan tidak mengabaikan perbedaan antara permasalahan yang qath’I dengan yang dzhanni, yang ijma’ dengan yang khilafiyyah. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup, Muhammadiyah menegaskan: “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.”[5] Bahkan pada asalnya, dalam isu khilafiyyah, Muhammadiyah megatakan: “Keputusan Majelis Tarjih mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan, tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu.”[6]

d. Keterbukaan

Muhammadiyah terbuka dalam berdiskusi dan bekerja sama dengan pihak di luar Muhammadiyah, bahkan di luar Islam. Tentu hal ini dengan tetap disertai penghormatan terhadap kekhasan amaliyyah dan ijtihad Muhammadiyah. Disebutkan dalam poin ke-8 dan ke-9 Sifat Muhammadiyah: “(8) Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya. (9) Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.”[7]

Terkait dengan kritikan atau nasihat dari pihak eksternal pun, Muhammadiyah terbuka menerima dan mempertimbangkannya. Dalam salah satu putusannya, Muhammadiyah menyebutkan: “Malah kami berseru juga kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu, di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya, diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah menurut sekadar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu.”[8]

Dalam Pokok Manhaj Majelis Tarjih poin ke-3 juga disebutkan: “(3) Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.”[9]

e. Tidak Berafiliasi Mazhab Tertentu

Dalam mengkaji akidah, fikih, dan tasawuf, Muhammadiyah merujuk langsung Al-Qur’an dan Sunnah serta sumber paratekstual melalui mekanisme ijtihad. Ini berarti Muhammadiyah tidak mengikatkan diri kepada mazhab tertentu, baik berupa aliran akidah, mazhab fikih, ataupun tarikat tasawuf. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat para ulama lintas kalangan dalam warisan intelektual mereka[10]. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dipelajari dan dijadikan bahan pertimbangan. Mana-mana pendapat yang Majelis Tarjih & Tajdid nilai paling sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, akan diambil oleh Muhammadiyah. Dengan inilah Muhammadiyah mewujudkan sikap Ittiba’nya. Dalam mukadimah Tafsir At-Tanwir dituliskan: “Sumber-sumber tafsir meliputi kitab-kitab tafsir muktabar, kitab-kitab hadis, kitab-kitab yang membahas berbagai aspek ajaran Islam termasuk kitab-kitab fikih, kalam, akhlak tasauf dan falsafah dan kamus-kamus bahasa, serta berbagai tulisan tentang tema terkait.”[11] Tentu pada akhirnya, Muhammadiyah secara de facto tidak pernah keluar dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah sebab Ahlussunnah wal Jama’ah-lah yang sebenarnya selalu sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam salah satu fatwa, ditegaskan: “”Muhammadiyah tidak bisa lain kecuali juga termasuk pengertian Ahli Sunnah wal Jamaah.”[12]


[1] Majelis Tarjih & Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), jld. I hlm. 278.

[2] Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 278.

[3] Manhaj Tarjih Muhammadiyah hlm. 16.

[4] Majelis Tarjih & Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017), jld. II hlm. 7.

[5] Manhaj Gerakan Muhammadiyah hlm. 52.

[6] Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 383.

[7] Manhaj Gerakan Muhammadiyah hlm. 45.

[8] Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 383.

[9] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 12.

[10] Risalah Islam Berkemajuan hlm. 12.

[11] Tafsir At-Tanwir jld. I hlm. xi.

[12] Tanya Jawab Agama jld. I hlm. 8.

Related Articles

Back to top button