Esai/OpiniPersyarikatan

Pohon Pisang Muhammadiyah

PDM DEPOK – Oleh: Abdul Mutaqin*

Generasi Kreatif

PADA 18 November 1912, Muhammadiyah resmi berdiri. Didirikan oleh seorang putra pribumi; KH Ahmad Dahlan. Keprihatinan yang mendalam pada nasib gelap kaum muslimin yang terbelakang kala itu, Muhammadiyah dihadirkan sebagai pencerah, seperti cerahnya Matahari yang telah tinggi mengusir kabut hitam.

Nama kecilnya Muhammad Darwis. Lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dari pasangan Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dan Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim. Bila dirunut, nasab Muhammad Darwis bersambung sebagai keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang dari tokoh terkemuka di antara Walisongo.

Saat masih kecil, Muhammad Darwis berbeda dari teman-teman sepermainannya. Kreatif, inovatif, dan Life of Togetherness-nya sudah tampak menonjol. Ia sosok mandiri, dan daya cipta kemandiriannya tidak ia nikmati sendirian. Muhammad Darwis kecil seakan cermin Collaborative Leader dalam permainan anak-anak.

Layaknya anak-anak yang menyukai mainan, Muhammad Darwis membuat sendiri gasing dan layang-layang, media bermain yang paling ia sukai. Gasing dan layang-layang itu dimainkan bersama teman-temannya. Karena itu, Muhammad Darwis amat disukai dan selalu dinanti teman-teman sepermainannya.

Ijtihad Kreatif

Muhammad Darwis dididik langsung oleh orang tuanya. Pengetahuan dasar agama dan membaca Al Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama yang diajarkan sang ayah. Kyai Haji Abu Bakar pula yang menguji secara langsung pemahaman hasil pengajarannya pada Muhammad Darwis. Nanti, sejak kepulangannya dari berhaji yang pertama pada 1888, Muhammad Darwis mendapatkan nama baru; Haji Ahmad Dahlan kala menginjak 20 tahun usianya. Haji Ahmad Dahlan dipanggil “Kiai” sejak dipercayakan mengajar murid-murid remaja ayahnya di surau milik keluarga.

Muhammadiyah genap 111 tahun pada hari ini, Sabtu 18 November 2023. Lahir dari ‘ijtihad’ KH Ahmad Dahlan sebagai respons kondisi agama, sosial, dan politik kaum Muslimin. Kala itu, umat Islam berkemul TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) serta berbagai praktik ibadah menyimpang dari ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Kebodohan, dikotomi pendidikan, dan infiltrasi kolonialisme yang dibonceng kristenisasi semakin memperburuk kondisi kaum Muslimin saat itu.

Seiring waktu, Muhammadiyah terus tumbuh, berkembang, dan berbuah. Buah itu sudah dinikmati bukan hanya warga persyarikatan, tapi juga umat Islam dan masyarakat Indonesia. Amal Usaha Muhammadiyah di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi amal usaha primadona Muhammadiyah yang manfaatnya menembus sekat sosial dan sekat primordial bangsa kita.

Program Kreatif

Setengah abad setelah Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta, Ranting Muhammadiyah Pulo resmi berdiri pada 1962 bergabung dengan Ranting Muhammadiyah Rawadenok. Hanya saja, catatan siapa-siapa yang menjadi Pengurus Muhammadiyah tidak ditemukan pada periode ini.

Mengutip catatan H. Nawawi Napih, Ranting Muhammadiyah Pulo sudah berdiri sendiri tidak lagi bergabung dengan Ranting Rawadenok pada 1966. Dipimpin M. Mansur sebagai Ketua, M. Ma’ruf sebagai Wakil Ketua, M. Muslim dan Napis sebagai Penulis I dan Penulis II, Saenan dan Muhasim sebagai Bendahara I dan Bendahara II. Sebanyak 18 orang anggota sudah bernomor baku. 12 orang anggota selebihnya belum bernomor baku.

Anggota dan Pengurus Muhammadiyah Ranting Pulo pada periode awal ini umumnya petani dan pedagang, terutama pedagang bilik dan pedagang buah. Untuk membiayai kegiatan Muhammadiyah, mereka menggagas beberapa program, di antaranya gerakan “Satu Rumah Satu Pohon Pisang”. Gerakan ini cukup berhasil dan menjadi salah satu sumber keuangan Muhammadiyah Ranting Pulo pada era 60 sampai awal 80-an.

Gerakan “Satu Rumah Satu Pohon Pisang” merupakan investasi Anggota Muhammadiyah yang cukup inovatif, berkesinambungan, dan ekonomis dengan beberapa keunggulan. Pertama, mayoritas anggota Muhammadiyah yang bertani, menanam pisang merupakan peluang amal yang sangat besar sebab lahan pertanian yang mereka miliki.

Kedua, umumnya Anggota Muhammadiyah yang berdagang bilik atau berdagang buah, masih memiliki kebun dan pekarangan rumah yang cukup untuk menanam lebih dari satu pohon pisang. Kebun dan pekarangan rumah inilah yang dimanfaatkan untuk menjadi sumber keuangan Muhammadiyah melalui program “Satu Rumah Satu Pohon Pisang”.

Ketiga, sifat pohon pisang yang produktif, ekonomis, dan tidak mengenal musim panen. Pohon pisang termasuk pohon yang jarang gagal berbuah, karena itu keberhasilan produksi buahnya sangat tinggi. Pohon pisang merupakan jenis pohon buah yang mudah tumbuh. Jarak masa tanam hingga berbuah terhitung pendek. Mudah perawatannya dan jarang terserang penyakit. Pohon pisang juga tidak terikat musim berbuah seperti pohon buah yang lain.

Keempat, pohon pisang termasuk pohon vegetatif yang berkembang biak dengan tunas dari rimpang akarnya. Tunas baru akan tumbuh secara alami dan terus berlangsung selama tanaman induk masih hidup. Bila sudah cukup masanya, tunas-tunas ini dipisahkan dari tanaman induk untuk ditanam pada tempat baru. Jadi, pohon pisang tidak hanya menghasilkan buah, tapi juga menghasilkan produksi bibit tanam berikutnya yang sangat menguntungkan secara ekonomis.

Kelima, anggota Muhammadiyah menjadi konsumen utama yang menyerap produk program ini. Anggota Muhammadiyah yang berdagang buah tentu yang paling banyak menyerap produk dan memasarkannya di pasar-pasar tradisional. Juga Anggota Muhammadiyah yang membuka warung-warung kecil yang menjual makanan olahan seperti pisang goreng menjadi konsumen tetap program ini.

Masing-masing Anggota Muhammadiyah menanam satu atau lebih pohon pisang sebagai khidmat pada persyarikatan. Umumnya mereka menanam pisang ambon atau pisang raja bulu karena harganya relatif lebih baik. Ada pula yang menanam pisang nangka, pisang tanduk, atau raja sereh. Apa saja jenis pohon pisang yang mereka tanam dalam program ini dicatat dalam administrasi persyarikatan.

Setiap pohon pisang tanaman Anggota Muhammadiyah dari program ini diberi label “Pohon Pisang Muhammadiyah”. Belakangan program ini di-copypaste pada program “Pohon Pepaya Muhammadiyah”.

Saat tiba waktunya pisang atau pepaya itu dipetik, hasil penjualannya diserahkan seluruhnya kepada Muhammadiyah. Bila anggota Muhammadiyah ingin menikmati pisang atau pepaya tanaman mereka, mereka tinggal mengganti harga jual yang disepakati sesuai harga pasar.

Sebuah gagasan sederhana menghidupkan Muhammadiyah dari generasi Awal Muhammadiyah Ranting Pulo.

Inovasi Kreatif

“Pohon Pisang Muhammadiyah” hanyalah salah satu dari program keuangan Muhammadiyah Ranting Pulo pada tiga dekade awal sejak resmi berdiri. Belakangan, program ini dikembangkan dengan program “Pohon Pepaya Muhammadiyah” dan “Gaduh Kambing” dengan sistem bagi hasil.

Pimpinan Ranting Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) tidak pula ketinggalan. Mereka membaca peluang dari pemilik sawah dan kebun, baik sawah atau kebun milik Anggota Muhammadiyah atau penduduk. Pemilik sawah dan kebun biasanya menggunakan tenaga kuli untuk “Babat Jerami” atau “Ngored” kebun.

Peluang itu diambil AMM. Lima sampai sepuluh orang anggota turun ke sawah dan kebun menggarap “Babat Jerami” atau “Ngored” tiap kali pemilik sawah atau kebun membutuhkan tenaga kuli. Upah yang mereka terima diserahkan sebagai kas AMM. Bagi pemilik sawah atau kebun, memakai jasa AMM lebih menguntungkan. Waktu pengerjaan lebih cepat dari pengerjaan tenaga kuli biasa dengan ongkos yang sama.

Program-program ini bukan saja bentuk kecerdikan perintis Muhammadiyah Ranting Pulo memanfaatkan potensi warga persyarikatan saat itu, melainkan legacy yang harus cerdik pula dibaca spiritnya oleh generasi Muhammadiyah hari ini. Spiritnya harus dipertahankan, sebab pembiayaan dakwah Muhammadiyah harus tetap berjalan.

Akan tetapi, masa program-program itu sudah berlalu. Lahan-lahan pertanian sudah hilang, kebun dan pekarangan rumah menyempit, serta perubahan pola ekonomi warga persyarikatan sudah berubah. Kreativitas dan inovasi keuangan untuk menopang dakwah Muhammadiyah harus terus dikembangkan.

Ranting Muhammadiyah Pulo termasuk “miskin” dari sisi AUM produktif yang mampu menopang keuangan dakwah Muhammadiyah. Akan tetapi, militansi anggota dan simpatisannya untuk berinfak masih terpelihara sejak dahulu. Masjid Jami Al-Huda, masjid dua lantai di ranting ini dibangun sebagian besar dari infak warga persyarikatan. Selebihnya sumbangan dari donatur yang tidak mengikat.

Hari ini Milad ke-111 Muhammadiyah. Di usianya yang sekarang, Muhammadiyah hadir sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Barangkali, KH Ahmad Dahlan pun tidak membayangkan Muhammadiyah akan menjadi sebesar seperti sekarang dan masih bertahan melintas zaman.

Boleh jadi, usia panjang Muhammadiyah adalah buah keberkahan dari keikhlasan beramal yang menjadi roh persyarikatan yang selalu diajarkan KH Ahmad Dahlan sejak didirikan. “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”, begitu salah satu pesan beliau.

Maka, seiring usia 61 tahun Ranting Muhammadiyah Pulo pada Milad Ke-111 Muhammadiyah hari ini, sudah saatnya lahir sumber ekonomi kreatif dan inovatif melampaui “Pohon Pisang Muhammadiyah”. Ia bukan saja bisa menghidupi ongkos dakwah Muhammadiyah, melainkan bisa menyejahterakan ekonomi warga Muhammadiyah dan umat. Semoga.

Selamat Milad ke-111 Muhammadiyah. Semoga tetap mencerahkan negeri membawa masyarakat berkemajuan.

 

*Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok Barat yang membidangi Majelis Tabligh dan Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button