Kasus Kekerasan Terjadi di Lembata NTT, Wakil Ketua KPAI Dorong RUU Pengasuhan Anak

PDMDEPOK.COM – Kasus kekerasan anak di Desa Normal, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, disorot. Anak tersebut dituduh mencuri dan disiksa fisik seperti dipukuli, ditelanjangi, disulut rokok, hingga diarak keliling desa.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra menilai bahwa kejadian ini mencerminkan kompleksitas persoalan perlindungan anak, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Jasra mengatakan bahwa wilayah-wilayah seperti Lembata masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan sistemik dalam menjamin hak-hak anak.
“Persoalan anak-anak di wilayah 3T masih perlu banyak inisiatif dan inovasi dalam jemput bola implementasi kebijakan. Persoalan anggaran, birokrasi, petugas yang mumpuni, tantangan geografis, dan stabilitas pendampingan menjadi hambatan utama,” kata Jasra dalam keterangan yang diterima, Rabu (09/04/2025).
Jasra menegaskan bahwa peristiwa serupa bukanlah yang pertama terjadi, dan harus menjadi pengingat bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan komitmen konkret dalam melakukan afirmasi kebijakan atas kasus-kasus yang terus berulang.
“Tentu bukan peristiwa pertama. Sehingga perlu mengingatkan kembali komitmen pemerintahan setempat, untuk melakukan afirmasi atas peristiwa yang terjadi,” ujarnya.
Lebih jauh, Jasra memandang kekerasan terhadap anak ini sebagai gejala puncak dari masalah yang tidak pernah ditangani secara menyeluruh dari hulu.
Jasra melanjutkan bahwa akar persoalan seringkali bermula dari lingkungan terdekat anak yang gagal dalam pengasuhan dan perlindungan.
“Saya kira permasalahan yang dihadapi anak saat ini, jangan dilihat hari ini saja. Ini adalah serangkaian berbagai permasalahan dari lingkungan terdekat pada anak, yang lama tidak terdeteksi dan tidak diintervensi. Sehingga dugaan KPAI, ini menjadi masalah puncak anak. Peristiwa ini adalah reaksi puncak masalah anak setelah sangat lama tidak tertangani,” kata Jasra.
Menurut Jasra, pendekatan terhadap isu perlindungan anak di wilayah 3T tidak bisa dilakukan secara biasa-biasa saja. Dibutuhkan kebijakan afirmatif yang dimulai dari hulu, yakni dengan memperkuat dukungan pengasuhan semesta.
“Peran penting keluarga, lingkungan, sekolah, pemerintahan desa adalah pentingnya bicara di hulu, yaitu dukungan pengasuhan semesta. Karena mau tidak mau ekosistem dukungan perlindungan anak tidak akan terjadi ketika persoalan hak paling esensial, yaitu kebutuhan hak pengasuhan yang layak, masih belum terpenuhi,” lanjutnya.
Jasra juga menekankan pentingnya pendataan dan penguatan peran lingkungan terdekat anak, serta pengembangan nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan prinsip perlindungan anak.
Jasra menyebut nilai-nilai lokal Indonesia sebenarnya sangat kaya, tetapi perlu dirumuskan kembali bersama tokoh-tokoh adat dan masyarakat.
“Pengembangan atau penguatan kearifan lokal yang mendukung hak perlindungan dan hak pengasuhan perlu dihidupkan. Nilai-nilai kearifan lokal ini yang kaya dan dimiliki Indonesia. Namun tentu butuh pemikiran dan musyawarah adat setempat,” ucapnya.
Jasra mendorong agar negara segera menghadirkan payung hukum yang lebih kuat dalam urusan pengasuhan anak.
“UU Perlindungan Anak perlu didukung oleh RUU Pengasuhan Anak. Ini rekayasa penting dalam pengarusutamaan pengasuhan semesta, agar perlindungan anak bisa tegak. Karena tegaknya perlindungan anak tanpa landasan RUU pengasuhan, sistem perlindungan anak kita bisa rapuh,” kata dia.