Esai/Opini

Media Sosial dan Keanggunan Moral

PDM DEPOK – Oleh: Ahmad Soleh*

Media sosial yang kian populer, membuat manusia, para digital native, makin mudah mengekspresikan diri di ruang digital. Tampaknya kehadiran media sosial sebagai new media telah menggeser pola komunikasi manusia di ruang publik. Menjadi bias antara mana domain publik dan domain privasi. Demokratisasi informasi ini membuat manusia merasa sangat bebas berekspresi dan mengeskpresikan diri. Seolah tak ada lagi sekat yang membatasi. Rasa marah, kesal, sedih, dan ekspresi emosional lainnya dengan mudah bisa tumpah ruah di ruang media sosial.

Di sisi lain, manusia merasa tak perlu takut berekspresi karena mengira bahwa di media sosial kita bukanlah diri yang sebenarnya. Akun media sosial bukan representasi dari diri kita. Padahal, pada era digital ini kita harus berhati-hati dan waspada dalam membuat konten ataupun menyalurkan ekspresi dan gagasan di media sosial. Meskipun media sosial merupakan ruang yang bebas, kita harus memahami bahwa segala apa pun yang kita posting terdapat konskuensi dan risiko. Sehingga, kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan menggunakannya.

Merebaknya hoaks juga disponsori oleh minimnya daya literasi para pengguna media sosial yang kian masif di seluruh dunia. Sehingga, penyebaran informasi di media sosial yang kian satset juga berdampak pada masifnya penyebaran hoaks. Bagaimana informasi-informasi bohong itu menyebar dengan cepat memanfaatkan pola algoritmik yang membuat kita mau tak mau mengonsumsinya, sadar ataupun tidak. Contoh lainnya, narasi adu domba dan narasi kebencian yang biasanya mengedepankan emosional juga kerap menyergap kita dalam ruang perdebatan yang dapat menimbulkan perpecahan.

Informasi yang memancing emosi dengan tujuan memecah belah ataupun menebarkan kebencian ini terkadang membuat kita terkecoh dan terperangkap. Dalam urusan-urusan politik, misalnya. Akibatnya, jari-jari kita dengan ringan dan tanpa beban terpanggil untuk melontarkan komentar-komentar kasar, kotor, caci maki, dan perdebatan tanpa mengedepankan akal budi dan kemanusiaan. Kita menjadi sangat reaktif menghadapi isu-isu yang ada di hadapan mata. Ditambah lagi adanya keadaan di mana kelompok pendengung atau buzzer yang diatur sedemikian rupa untuk menciptakan kekacauan di tengah kehidupan masyarakat, pengalihan isu, dan beragam intrik lainnya.

Mewaspadai Fake People

Salah satu fenomena yang terjadi di media sosial adalah munculnya “orang-orang palsu” (fake people). Barangkali inilah yang membuat ruang digital kita sesak dipenuhi sampah informasi. Orang-orang palsu di media sosial, kata Jaron Lanier (Ilusi Media Sosial, 2020), adalah mereka yang tidak merasa penting untuk menyatakan kebenaran. Karena kebenaran bukanlah sesuatu yang menguntungkan bagi mereka. Kebenaran bukanlah tujuan mereka. Orang-orang palsu ini adalah robot (bot) yang sengaja dibuat secara massal untuk mengendalikan suatu informasi. Tentu saja, di belakang bot ini ada yang mengendalikan.

Salah satu contohnya adalah fake account yang digunakan untuk menyerang yang dianggapnya lawan. Keberadaan mereka memang ada dan ternyata berdampak dalam memengaruhi opini para pengguna media sosial. Sebenarnya, tidak semua fake people itu jahat atau negatif karena banyak juga fake people yang dapat dimanfaatkan secara positif. Apalagi di era AI (artificial intelligence) saat ini, di mana segala hal bisa diproduksi secara otomatis oleh mesin cerdas untuk membantu kehidupan manusia. Kendati begitu, istilah fake people sepertinya lebih mengarah pada konotasi negatif yang bertujuan mengacaukan, menghancurkan, dan mengaburkan.

Maka, manifesto yang pertama adalah kita harus mewaspadai munculnya para fake pepole dalam platform media sosial. Karena bisa jadi kehadiran mereka hendak mengacaukan dan menyesatkan kita ke dalam bubble informasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Cara kita memahami dan melihat pola informasi ternyata tidaklah cukup. Kecakapan digital menuntut kita untuk bisa mengidentifikasi mana informasi asli, setengah asli, dan sepenuhnya palsu. Selain itu, juga mengharuskan kita mengetahui mana sumber informasi yang autentik dan mana yang palsu.

Anggun dalam Moral

Kehadiran fake people untuk menyesatkan dan merusak ruang informasi digital adalah hal yang buruk secara moral. Sebab, dampaknya bisa sangat berbahaya bagi para pengguna media sosial, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Kebencian, permusuhan, perpecahan, misinformasi, pembohongan publik, dan kekacauan lainnya bisa terjadi lantaran mereka mengatur sedemikian rupa dengan tujuan yang negatif. Maka, menangkal hal tersebut kita juga dapat memagari diri kita agar tidak mudah percaya dan terpancing oleh umpan yang mereka tebarkan. Ya, kita membutuhkan adanya manifesto yang kedua, yakni menumbuhkan keanggunan moral dalam bermedia sosial.

Moral yang anggun merupakan manifestasi dari karakter individu yang memahami dan menerapkan adab dalam kehidupannya. Moral yang anggun lahir dari pikiran yang senantiasa berada dalam tuntunan ilmu. Moral yang anggun hadir dalam wujud tutur kata yang jujur, tidak menggurui, tidak menyakiti, tidak merasa benar sendiri. Moral adalah sikap, cara berpikir, dan berperilaku manusia dalam menjalani kehidupan. Apa yang kita ekspresikan di media sosial merupakan representasi diri kita yang di dunia nyata. Sebab itulah moral yang anggun di media sosial adalah ekspresi yang lahir dari diri yang penuh kesadaran akan pentingnya saling menghargai dan mewujudkan nilai-nilai kebaikan (good values).

Meskipun begitu, moral yang anggun tidak hanya soal kata-kata. Moral yang anggun juga merupakan sebuah kebijaksanaan (wisdom) yang lahir dari diri seseorang yang sadar dan menggali secara lebih gamblang. Sehingga, ketika mendapatkan informasi, kabar, berita, cerita, ataupun suatu isu tidak percaya begitu saja, melainkan mencoba memahaminya dengan kritis dan mendalam. Tidak bersikap reaktif, apalagi sengaja memperpanas suasana dengan kata-kata yang tidak sepantasnya.

James Rachels (Filsafat Moral, 2004) mengungkapkan bahwa hal yang secara moralitas benar yang dilakukan, ditentukan oleh alasan-alasan terbaik berdasakan pertimbangan akal. Jadi, dengan moral yang anggun kita mencoba untuk merespons narasi di media sosial dengan kritis, tenang, tidak gegabah, dan tidak emosional. Kita tahu apa respons terbaik apa yang harus kita berikan. Sehingga, jikapun harus bertindak, kita mendasarinya dengan kejernihan pikiran dan pertimbangan yang matang.

Sampai pada paragraf terakhir ini, kita bisa memahami bahwa sesungguhnya cakap berliterasi digital di media sosial tidak cukup hanya “mampu mengoperasikan” atau “menguasai fitur-fitur” belaka, melainkan juga harus mampu melibatkan akal budi dan moralitas dalam berperilaku di ruang digital. Sehingga, kita bisa tahu seberapa besar manfaatnya dan bagaimana kita harus memberikan respons dan bertindak. Barangkali hal semacam inilah yang tidak dimiliki oleh mereka para orang palsu atau fake people.

 

*Penulis merupakan sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kota Depok, Mahasiswa Pascasarjana Uhamka, & awardee beasiswa MPK-SDI PP Muhammadiyah-Lazismu tahun 2024.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button