Jasra Putra: Rokok Elektrik Harus Diatur Ketat

PDMDEPOK.COM – Rokok elektrik semakin digandrungi anak-anak dan remaja. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pengguna rokok elektrik di Indonesia meningkat dari 0,3 persen atau 480 ribu orang di tahun 2011 menjadi 3 persen atau 6,6 juta orang pada 2021.
Jumlah perokok elektrik terus bertambah karena anak-anak dan remaja mudah membeli rokok tersebut.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, perkembangan pengguna rokok konvensional dan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja, sudah tergolong mengkhawatirkan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS), prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen pada 2016 menjadi 19,2 persen pada 2019.
Menurut Jasra, persoalan rokok elektrik kian pelik, karena anak-anak dan remaja mudahnya menjangkau produk tersebut. Selain banyaknya gerai dan toko yang tersedia, harga rokok elektrik juga cukup oleh ‘kantong’ anak-anak dan remaja.
“Saat ini, harga rokok elektrik semakin murah, bisa diakses di mana-mana, dan memiliki berbagai macam rasa yang menarik. Ini membuat persoalan peredaran dan konsumsi rokok elektrik kian pelik,” ujarnya di Jakarta, Jum’at (7/6/2024).
Karenanya, sambung dia, KPAI mendorong pemerintah menerapkan regulasi yang lebih ketat, untuk menekan penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja. Salah satunya, melalui Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Rokok elektrik maupun konvensional, tak cocok digunakan oleh anak-anak dan remaja. Rokok bisa merusak perkembangan fisik dan mental anak-anak dan remaja di bawah 21 tahun,” tegas Jasra.
Dalam UU Kesehatan, lanjut dia, KPAI melalui pokja kesehatan memberikan masukan terkait isu perlindungan anak, termasuk pengendalian zat adiktif seperti rokok. KPAI juga mengusulkan agar usia minimum untuk membeli rokok, baik konvensional maupun elektrik, dinaikkan dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Kami mengawal RPP Kesehatan dan memberikan masukan, seperti dorongan agar kemasan rokok konvensional dan elektrik mencantumkan peringatan 90 persen, serta melarang iklan di tujuh tatanan terutama di satuan pendidikan dan tempat bermain anak,” jelas Jasra.
Pengurus Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Annisa Dian Harlivasari menyatakan, saat semua pihak terus berupaya melawan gempuran rokok konvensional, ancaman juga datang dari rokok elektronik yang secara nyata menargetkan kalangan muda.
“Rokok elektronik makin menggila. Sasarannya banyak anak muda, bahkan anak sekolah, mereka termakan klaim rokok elektrik cenderung lebih aman dibanding rokok biasa, jadi dengan santai konsumsi saja tanpa cari tahu lebih jauh,” ujarnya.
Diterangkan Annisa, rokok elektrik mengandung bahan berbahaya, seperti nikotin yang mengancam kesehatan, serta formaldehyde, glycol, gliserol dan lainnya, yang dapat menyebabkan pernapasan bahkan kanker paru.
“Ini kondisi gawat darurat untuk kita semua. Pemerintah harusnya belajar dari kejadian masa lampau. Dulu awal rokok jadi tren juga dimulai seperti ini. Harusnya, ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk bekerja lebih cepat dalam permasalahan rokok,” harapnya.