Bermedsos Ala Muhammadiyah
PDM DEPOK – Oleh: Ahmad Soleh*
Kehadiran media sosial (social media) dalam kehidupan manusia modern, bukan tanpa masalah. Problem pun hadir seraya kian meluasnya penggunaan media sosial. Berbagai kajian dan penelitian yang sudah dilakukan menyebutkan bahwa kehadiran media sosial dapat membawa pengaruh terhadap manusia, baik pada perilaku, pola komunikasi, pola interaksi, bahkan memberikan dampak secara psikologis terhadap manusia.
Pengguna internet di Indonesia yang menunjukkan angka begitu besar, termasuk di dalamnya pengguna media sosial yang kian masif dan menjamur, tak bisa lagi dielakkan sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan masuknya produk ponsel canggih dengan harga murah. Berbagai rentang usia pun kini dengan mudah mengonsumsi media sosial sesuai preferensinya masing-masing. Hal ini bisa saja berdampak positif, tapi secara bersamaan juga mampu menghadirkan petaka. Potensi menghadirkan petaka inilah yang mesti kita respons dengan bijak dan cerdas.
Dalam survei yang dilakukan Microsoft pada 2021, posisi Indonesia berada di puncak tertinggi sebagai pengguna internet paling tidak sopan. Survei digital civility index (CPI) itu menyoroti perilaku bermedsos dan mengukur tingkat kesopanan warganet di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sebagai bangsa yang dikenal religius, bukankah kenyataan ini menjadi sebuah ironi? Ya, siapa sangka bahwa di negara yang menjunjung tinggi agama, moralitas, dan kemanusiaan ternyata akhlak-less di medsos.
Lalu, apa problem sebenarnya? Perilaku tidak sopan dan tidak beradab di media sosial merupakan bukti bahwa manusia Indonesia mulai melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjungnya. Bahkan, yang mengaku agamis pun bisa berperilaku tidak sopan, berkata kotor, dan mengetik makian di kolom komentar media sosial. Seolah-olah media sosial adalah penjelmaan yang lain atas dirinya. Padahal, kehadiran manusia di ruang digital merupakan representasi dari manusia itu sendiri. Bila ia beradab di dunia nyata, sudah seharusnya ia beradab pula di media sosial. Begitu pun berlaku sebaliknya.
Luruhnya nilai kemanusiaan ini merupakan problem fundamental yang dapat mengindikasikan begitu keroposnya mentalitas kita. Selain itu, hal ini juga menandakan bahwa masyarakat kita masih gagap dan belum betul-betul siap menghadapi perubahan zaman. Maka, diperlukan upaya-upaya strategis yang masif untuk membendung kian meluasnya dampak buruk yang dapat berujung petaka ini.
Terhubung di Ruang Virtual
Sebetulnya, media sosial hadir untuk menjadi ruang pertemuan virtual yang positif, baik bagi individu maupun kelompok sosial. Media sosial dapat membuat para penggunanya saling terhubung (connected), berkomunikasi (communicate), berpartisipasi (participate), berbagi (share), dan menciptakan (create) konten di dalamnya (Mauludi, 2018: 152). Hal ini barangkali sudah kita sadari sejak awal, ketika media sosial mulai booming di Indonesia pada medio 2000-an.
Kehadiran media sosial banyak memberikan dampak. Di antaranya ialah pemanfaatan untuk percepatan proses komunikasi, sosialisasi, pemberitaan, hiburan, hingga proses transaksi jual-beli. Media sosial hadir dengan menawarkan fleksibilitas kepada penggunanya. Artinya, media sosial dapat digunakan sesuai kebutuhan dan preferensi penggunanya. Entah untuk kebaikan (ma’ruf) maupun keburukan (munkar).
Kini, orang berlomba-lomba menggunakan media sosial untuk memengaruhi publik, sehingga kemudian muncullah istilah pemengaruh atau influencer, bahkan muncul istilah pendengung allias buzzer yang dibayar untuk mengecoh publik dengan narasi tertentu. Fenomena ini menandakan media sosial begitu efektif dalam membangun persepsi, opini, dan pandangan masyarakat. Bahkan, kenyataan ini pun membawa kita pada ruang yang begitu penuh sesak dengan informasi, sampai-sampai tak sempat lagi kita mengunyahnya.
Dengan begitu, media sosial juga hadir dengan sejumlah problem. Tom Nichols (2019: 158) mengungkapkan, media sosial dapat menjadi sarana untuk diskusi cerdas, tetapi sering kali menjadi sekadar adu pendapat, ketidakpastian, informasi tak layak, dan hinaan, bukan diskusi hebat. Tidak sedikit kekacauan muncul akibat informasi yang begitu cepat menyebar di tengah masyarakat. Yang pada kenyataannya informasi tersebut tidak valid, mengandung hoaks, berisi narasi adu domba, propaganda, diskrimintaif, intoleran, dan sebagainya.
Mungkinkah konsumsi informasi yang berlebihan ini menjadi faktor rusaknya mentalitas anak bangsa di jejaring sosial? Jawabannya mungkin saja iya, mungkin juga tidak. Lalu kita harus bagaimana menyikapinya?
Menjadi Netizen Berakhlak
Perilaku bermedia sosial juga menjadi perhatian Muhammadiyah. Dalam merespons perkembangan media digital yang kian populer di tengah masyarakat, Muhammadiyah hadir dengan narasi positif, tentang bagaimana memanfaatkan media sosial secara positif, alih-alih mengutuk atau mengharamkan media sosial. Bagaimanapun, media sosial adalah buah dari kemajuan teknologi informasi yang tak bisa dielakkan.
Pandangan Muhammadiyah ini disampaikan dalam dokumen bertajuk Akhlakul Medsosiyah Warga Muhammadiyah yang disarikan dari Kode Etik NetizMu MPI PP Muhammadiyah. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa warganet Muhammadiyah dalam bermedia sosial senantiasa berlandaskan pada akhlakul karimah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunah (hadis). Ini juga dapat ditemukan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, di mana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi didorong untuk menciptakan kehidupan yang positif.
Maka, media sosial pula digunakan sebagai alat atau sarana dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan hikmah dan al-mau’izhah al-hasanah. Kita dapat mengembangkan narasi yang mencerahkan, nasihat, sastra Islami (bernapas rahmatan lil alamin), dan berbagai wacana keilmuan yang mendorong diskusi dan kemajuan masyarakat, persyarikatan, dan bangsa. Dengan begitu, dakwah yang dilakukan di media sosial mengedepankan adab, etika, sopan santun, dan kelembutan. Dakwah yang menggugah hati, menggerakkan, menyadarkan, dan menasihati tanpa penghakiman.
Selain itu, kita harus memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan positif dan mencerahkan. Dengan itu, hal-hal seperti melakukan gibah online, merundung (bullying-cyberbullying), menyebarkan konten pornografi, kemaksiatan, dan hoaks dilarang untuk dilakukan. Bahkan, Muhammadiyah menegaskan larangan untuk menyebarkan informasi benar yang tidak sesuai tempat dan waktunya, sebab hal semacam itu dapat menimbulkan mispersepsi yang berujung pada kemudaratan.
Muhammadiyah mendorong pemanfaatan media sosial untuk seruan kebaikan. Baik itu untuk bermuamalah, bertukar informasi, berkomunitas, berjejaring, maupun dakwah. Namun, hal-hal positif semacam ini akan tercipta dan lahir dengan adanya kesadaran, baik pada level individu maupun kolektif, bahwa media sosial telah hadir dengan segala konsekuensinya. Sebab itulah, menjadi warganet seyogianya dapat bertanggung jawab dengan perilaku yang salah satunya ditunjukkan di media sosial. Wallahu a’alam.
*Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kota Depok